BAGIAN DUA

33 13 0
                                    

Rovel sudah mematung di depan rumah sepagi ini. Tanpa Papa mengirim bodyguard aku sudah mendapatkan tanpa meminta. Syukurlah tidak ada percakapan selama lima ratus meter perjalanan ke sekolah. Jalanan yang padat dan bising mengisi langkah kami.

“Semalam aman ‘kan, El?” tanya Rovel ketika dua langkah masuk gerbang. Baru saja aku bersyukur sekian menit sudah memanggil dengan nama itu.

“Oliv. Sekali lagi lo manggil Elena itu, gue gak mau ngomong sama lo,” ancamku.

“Cocok deh jadi asistennya Pak Roman.”

“Gue pindah pingin hidup tenang, kenapa apes banget ketemu lo,” kesalku.

Murid lain saat kami melintas menatap aneh ke arah kami. Aku melihat sepatuku dan Rovel, tidak ada yang salah. Atau seragam kami keliru, tidak juga hari ini memang memakai seragam putih dan bawahan kotak abu-abu. Aku melihat Aurel berjalan ke kantin, tanpa pikir panjang langsung kukejar langkahnya tanpa memedulikan Rovel.

“Rel,” sapaku sembari menepuk pundaknya.

“Liv, lo jadi trending topik sejak pulang sekolah kemarin.” Aurel menyodorkan gawainya.

Layar gawai menunjukkan aku dan Rovel membawa buku sepanjang lapangan sekolah, apa yang salah coba.

“Berangkat barusan gue juga sama Rovel. Kenapa sih?” tanyaku heran.

Aurel menyeret tanganku kembali ke kelas. Katanya tidak enak berbicara di kantin. Sampai di kelas Rovel sudah membenamkan wajahnya di meja dan telinganya terpasang airpods.

“Rovel satu-satunya cowok yang gak pernah bicara sama cewek mana apu di sekolah ini. Kerjaannya mulai kelas satu ya gitu, tidur sepanjang mata pelajaran atau keluar dan tidur di UKS.”

“Terus karena dia ngomong sama gue jadi satu sekolah heboh?” tanyaku lagi, aku kurang mengerti maksud Aurel.

“Dulu dia punya geng motor gitu, sekitar delapan orang. Mereka habis dibantai sama mafia narkoba. Tinggal Rovel karena dia masih sekolah jadi sama mafianya dibiarin. Sejak itu gak pernah ngomong atau semangat buat sekolah. Kasus terakhir enam bulan lalu berantem sama Pak Roman, lo tau Pak Roman itu ayah kandungnya sendiri,” terang Aurel.

Aku melihat arah Rovel. Kenapa harus masuk kelas ini dan bertemu dengan anggota geng motor yang habis dibantai Hercules. Tidak bisa mengelak memang aku tahu semua cerita tentang geng motor menabrak nyonya mafia yang sedang hamil tri semester. Oh, akan semakin rumit jika Rovel mengatakan pada Aurel kalau aku anak gembong mafia yang sedang mencari kehidupan baru. Pa, bisa tidak aku pindah ke kota yang lebih jauh, pelosok pun aku gak masalah asal tidak ada yang mengenaliku.

“Jangan keras-keras bicarany, Rovel tahu gimana?” Aku melirihkan suara.

“Gak bakal denger, dia udah berkelana di alam mimpi.” Aurel membenarkan kacamatanya. “Bentar airpods gue ketinggalan di motor, gue ambil dulu keburu masuk.” Aurel beranjak tanpa mengajakku.

Aku kembali menoleh samping kanan, Rovel memang membenamkan wajah tetapi matanya terbuka dan tersenyum kepadaku. Buru-buru mengalihkan pandangan ke meja lain, padahal baru dua hari memiliki dunia baru, Rovel membuka lembaran hitam sangat mudah tanpa takut aku terluka.

Selama dua jam penuh pikiranku teralihkan dengan pelajaran, bagaimana kalau aku ikut tidur saja seperti Rovel, tidak tidak yang ada Aurel akan menuduhku meniru tingkah Rovel setelah kami menjadi pembicaraan sejak kemarin. Tanganku rasanya kaku menulis persamaan kuadrat, angka dan simbol mulai asing. Berkali-kali aku merutuki diriku salah memilih SMA. Oh Rovel kenapa juga harus secepat ini membeberkan soal Elena. Kenapa tidak memberi waktu agar aku menikmati dua sampai tiga bulan hidup normal.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang