Bagian Enam Belas

7 1 0
                                    

"Harus, ya, ngambek segitunya?" Rovel mengambil topik.

Aku menatap matanya, sama sekali tak bisa bohong kalau ketulusan yang kutemukan di sana.
Sebelumnya kami memutuskan pulang, Aurel tidak setuju kalau bermalam di tempat terbuka, katanya bisa menyebabkan penyempitan pembuluh darah.

Kami duduk di sofa usang, selimut yang digunakan Romeo masih di sana.

"Aku gak suka kamu permasalahin hal kecil, Vel."

"Aku iri kamu menghabiskan banyak waktu sama Romeo."

"Kalau boleh minta, aku gak mau ketemu Romeo. Aku pergi tiap malem karena otakku panas, selalu mikir buruk. Gimana kalo dunia tiba-tiba gak berpihak sama aku, dan di waktu bersamaan Hercules berhasil menembus kepalaku dengan peluru atau aku kehilangan kalian berdua dan--"

"Stop, El. Maafin aku."

Rovel memotong ucapanku dan langsung merangkul pundakku. Cengeng sekali aku semenjak papa pergi. Begini saja air mata sudah luruh padahal mati-matian kelopak mataku menahan.

"Aku minta maaf, gak seharusnya ngambek sampe kamu nyusul ke atas tadi."

Rovel mendekap lebih nyaman dan tangannya mengusap air yang menyebar di pipi. Terlihat sepele memang masalah kami, aku tidak mau hal kecil seperti ini sudah menggoyahkan hubungan kami.

Sudah, tidak ada canggung lagi antara aku dan Rovel sekarang. Bahkan dia terang-terangan menghisap rokok di sampingku. Kami masih duduk di sofa. Aku menyandarkan kepala di bahunya.

"Anak mafia biasanya ngerokok, kamu enggak?" tanya Rovel.

Aku menyahut rokok yang diapit Rovel, menunjukkan kalau aku juga bisa menghisap benda itu. Beberapa kali. Rovel mengambil satu batang lagi dari bungkus dan menyalakannya.

"Dokter Shella ngelarang waktu papa bawa aku pertama kalinya."

Ini pertama kalinya setelah banyak bulan tanpa merokok. Papa tidak melarang karena dia tidak bisa lepas dari vape.

"Kalau sumpek aja, ya, ngerokok. Kita bakal diceramahin Aurel kalau ketahuan ngerokok berdua gini." Rovel mengambil batang rokok dari mulutku, padahal baru saja aku mengesapnya.

"Biarin sampai habis dulu kenapa," protesku. Aku mengambil lagi rokok itu dan memasukkan ke mulut.

"Baguss!! Paru-paru busuk baru tahu rasa kalian." Aurel muncul di ambang pintu.

Ia mengambil bungkus rokok dan menyodorkan tangannya ke arah kami, tanda meminta rokok yang sedang kami apit. Aku mengisap agak dalam dan memberikan pada Aurel.

"Elenaaa," pekik Aurel melihatku lebih dalam menyesap rokok.

"Rel, satu doang," pinta Rovel.

"Gak ada. Mana," target Aurel.

"Cobain makanya, dijamin langsung plong pikiran lo. Sini gue ajarin." Rovel meraih bungkus rokok itu.

"Plang plong plang plong, pala lo yang plong gak ada otak. Racun masih aja dimakan. Tadi siang udah gue bakar satu bungkus, sekarang beli lagi malah ngajak Elena ngerokok juga. Nikotin nih, nikotin," omel Aurel di depan kami.

"Gak asyik lo, Rel. Gue belum mabok juga nih di depan lo," tantang Rovel.

"Berani lo minum-minum gue sumpal mulut lo pakai bubuk tnt biar meledak sekalian! Kalian gak ada ya, acara ngerokok, mabok, dan yang mirip-mirip kayak gitu. Lo mau miskin gara-gara narkotika? Selama gue sama kalian, gak ada ginian."

Aku diam tidak berani menjawab atau membalas omelan Aurel malam ini. Dokter Shela juga mengatakan hampir sama dengan Aurel. Semua yang dibisniskan papa tidak baik untuk bahan pelampiasan.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang