Bagian Tiga

26 9 0
                                    


Tidak ada niatan pergi sekolah hari ini. Apalagi jam pertama kelas Pak Roman, tugasku belum selesai, bisa jadi ayam geprek sesuai kata Aurel nanti jika berani masuk kelas tanpa tugas. Rovel masih memejamkan mata, anak ini mungkin juga tidak niat pergi sekolah. Selama di kelas full tidur.


Gawaiku bergetar, panggilan masuk. Wajah Aurel menggunakan rompi kebanggaan sekolah terpampang di layar. Kuusap layar ke atas.


"Lo di mana? Ini udah hampir bel, Liv."


"Gak masuk hari ini gue."


"Jadwal Pak Roman lo gak masuk? Bukan digeprek aja sih lo bakal jadi nugget krispi!"


"Halo Rel! Gue juga gak masuk, ya. Bilangin ke papi gue." Rovel langsung memperlihatkan wajah berantakannya.


"Eh, Liv, lo sama Rovel? Gila lo tidur bareng? Ngapain lo semalam," cerocos Aurel.


"Dih, otak mesum Lo. Udah-udah gue laper mau nyari makan. Besok gue pinjem catatan, ya."


Malah Rovel tersenyum tidak jelas setelah panggilan video call berakhir. Kalau saja pion Hercules tidak mengacau malas sekali bersama si cowok tukang tidur ini. Aneh bin ajaib, berbanding terbalik dengan Pak Roman.


Papa sudah mengirim lokasi rumah baru, pasti lengkap mengirim Jeff dan Romeo. Aku tidak punya pilihan lagi, memang kalau sendirian di kota ini pion Hercules dengan mudah menghabisiku, apalagi aku hanya gadis usia tujuh belas tahun. Nanti saja pulang ke rumah baru, perut rasanya keroncongan dari sore belum terisi.


Kami berjalan menyusur pinggir kota, jaket Rovel membungkus tubuhku, pasti dia semakin besar kepala mengira aku luluh dan bisa dipanggil Elena. Sepanjang jalan tidak ada percakapan, dari sebelumnya juga sama tidak pernah mengobrol saat menyusuri trotowar. Sudah banyak kedai makanan kami lewati, apa tidak peka kalau berkali-kali sudah ketepuk perut.


"Ayo, gue bakal ngomel banyak kalo perut lapar."


Kutarik lengan Rovel masuk soto makasar. Aromanya membuat perutku semakin meronta. Teh hangat langsung disajikan tidak lama kami duduk, tinggal menunggu soto kami.


"Pak Roman itu bokap lo?" Aku mencomot topik agak dalam.


"Iya."


"Lo gak takut?"


"Ngapain takut, dia nafkahin gue aja enggak."


"Maksudnya?"


"Gue rasa lo udah tau semua dari Aurel."


"Ya masak gue harus tahu semuanya dari orang lain?"


"Kalo gue tanya balik, siapa yang bunuh Wiliam? Masak gue harus tahu dari orang lain juga?"


Rovel membalikkan pertanyaanku. Sudahlah, soto di hadapanku lebih enak. Aku tidak mungkin terus berdebat sementara di kedai ini banyak pelanggan. Yang penting perutku tidak berteriak-teriak lagi.


Kalau dipikir benar juga, untuk apa bertanya detail tentang Pak Roman pada Rovel kalau aku bisa mendapatkan informasi lengkap dari Aurel secara suka rela plus mendapat es jeruk gratis setiap istirahat.


***


Langkahku terhenti di depan gerbang hitam setinggi tiga meter. Terlalu besar untukku rumah sebesar ini, siapa yang akan bersih-bersih, menyapu seluruh halaman. Jeff dan Romeo langsung membuka gerbang. Aku langsung masuk, punggungku ingin diguyur air hangat dan berendam dengan aroma lavender.


Jeff dan Romeo menahan Rovel. Apa-apaan mereka.


"Biarin dia masuk," tegasku sambil menggandeng lengan Rovel.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang