Bagian Sembilan Belas

18 1 0
                                    

Pak Roman masih mendengkur lirih, ini pukul lima pagi. Tangan Rovel masih di kepalaku. Aku meletakkan di perutnya perlahan, infusnya berjalan normal, dalam semalam aku memanggil suster sudah empat kali. Sebanyak itu cairan tubuhnya yang hilang.

"Mau ke mana, Sayang." Rovel menarik tanganku saat aku beranjak.

"Nengok Aurel dulu."

"Jangan lama-lama, ya."

"Iya."

Aurel sedang bermain gawai di dekan ranjang Romeo. Aku mendekat, memastikan mereka tidak berdebat semalam karena Aurel terlalu pintar. Oh, Elena, kau lupa kalau Romeo cukup pendiam ketimbang Rovel pacarmu itu. Jadi Aurel tidak akan berdebat yang aneh-aneh dengan Romeo.

Aku mengintip Aurel sedang menonton apa. Ah, salah tebakanku. Aurel membaca buku digital di google play book. Ah, tidak menarik sama sekali Aurel.

"Bagi nomor Kak Bastian dong," pintaku.

"Buat apa?" tanya Aurel langsung menatapku.

"Ada sesuatu penting yang harus gue omongin."

"Lo gak maksa Kak Bastian buat bantu kita 'kan?"

"Enggak tenang aja. Cuman hal kecil kok, Rel." Aku berusaha menyakinkan Aurel.

"Oke gue kirim ke whatsapp lo sekarang."

Romeo hanya menyimak perbincangan kami. Mungkin dia canggung karena ini pertama kali Romeo bersama Aurel.

Aku akan ke tempat Kak Yuna pagi ini. Biarlah coffe shop-nya belum buka. Aku bisa menelepon dan minta bertemu Kak Bastian. Mau sampai kapan orang-orang di sekelilingku terluka.

"Rel, lo bisa 'kan nengokin Rovel sebentar? Bilang gue di sini lagi ngomong penting sama Romeo."

Sebenarnya aku mengusir Aurel secara halus.

"Oke. Kaku mulut gue dari semalem gak ngomel. Romeo kayak koala, diem aja," cerocos Aurel.

"Emang gue harus dangdutan gitu, burung kakak tua?" sahut Romeo tidak terima.

Eh, dugaanku salah. Bahkan dua orang ini sudah memiliki panggilan khusus. Koala dan burung kakak tua. Hahaha.

Aurel pergi, hanya kami berdua di ruangan ini. Aku duduk di kursi Aurel. Mengambil napas kasar dan mengembuskan secara kasar pula.

"Lo tau gue lumpuh?" Romeo mengawali percakapan kami.

Aku mengangguk. Iya, tulang tengkuknya bergeser jadi Romeo mengalami kelumpuhan sementara.

"Kalau gue gagal minta Kak Bastian buat bantu kita, gue mau nyerahi diri aja ke Hercules," ucapku.

"Setelah sejauh ini? Arman mati, gue lumpuh, Rovel gagar otak. Lo dengan mudah mau nyerahin diri? Pake otak lo." Romeo menuding kepalanya.

"Otak gue mati tau gak!" sarkasku langsung.

"Karena hati lo buta, El! Lo masih belum terima Rovel sepenuhnya. Lo cuman anggep Rovel sebagai pengganti Will bukan Tuan Gading!"

"Gue harus apa?! Gue gak mau satu per satu dari kalian mati gara-gara gue. Mending gue aja yang mati!"

Mata kami bertemu, iris Romeo mengunci irisku.

"Lo punya Rovel, lo punya gue, ada Aurel. Cukup buat kita berjuang nyari celah supaya Hercules mundur." Romeo memegang pundakku. Meyakinkan.

"Rovel sama Aurel bisa aja ninggalin lo supaya nyawa mereka aman. Gue juga bisa jadi antagonis terus, tapi kita gak lakuin itu. Kita sayang sama lo, lo juga berhak punya kehidupan normal, Elena," tambah Romeo.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang