Bagian Tujuh

6 1 0
                                    

Pagi ini Aurel mengajak kami bertemu seseorang. Kami duduk di coffe shop tanpa memesan apa pun, tetapi empat gelas kopi sudah tersaji di meja kami.

"Kak Yuna datang." Aurel memberitahu.

Aku menoleh, perempuan dengan tubuh mungil dan rambut tetgerai. Aku tidak mau mengungkapkan kesan pertama bertemu Kak Yuna ini. Dari cerita Aurel semalam, dia lebih tua 5 tahun dari kami.

"Aurel apa kabar?" sapa dia dahulu.

"Baik, Kak. Kak Yuna sama Kak Bastian, baik?" tanya balik Aurel. Secara bergantian Kak Yuna menyalami kami.

"Baik. Ini yang kamu ceritain semalam?"

"Iya, kak. Ini Elena, Rovel, dan Arman."

Aku tersenyum membalas senyum Kak Yuna ini. Rasanya berbanding terbalik antara cerita Aurel dan setelah bertemu langsung.

"Elena kayaknya butuh bantuan Kakak. Dia anak salah satu bandar narkoba. Keselamatannya terancam sekarang," jelas Aurel.

"Aku bisa bantu apa?" tanya Kak Yuna sambil menatapku.

"Gue mau keluar dari semua ini," jawabku. Aurel langsung menyenggol tanganku.

"El, gak sopan tau," lirih Aurel.

"Gak papa, Rel. Terserah Elena mau manggil kayak gimana, yang penting dia nyaman."

"Maaf, Kak."

***

Arman dan Aurel pulang, kali ini aku meminta Rovel menemaniku mengikuti Kak Yuna ke salah satu makam umum. Makam yang dituju sampai, dua malam kembar dengan tanggal kematian sama. Sebenarnya kami ingin meminta tolong untuk keluar dari kejaran Hercules, bukan berziaran ke makam yang bahkan aku tidak kenal.

"Dua makam ini, mereka bersedia menukarkan nyawa untuk aku dan Bastian. Kami waktu itu dikejar agen intelejen Cakra Hitam karena aku mencuri chip berisi data seluruh anggota intel negeri ini. Aku mencuri itu karena ingin hidup bebas sama seperti kamu, Elena," terang Kak Yuna. Aku semakin tidak mengerti.

"Kalau saja aku tidak melibatkan Bastian, Tere, dan Febian. Mungkin saat ini Febian dan Tere masih bernapas. Aku tahu, mereka teman-teman yang sedia membantu apa pun situasiku. Tapi aku salah, karena yang bisa kabur dari belenggu-belenggu ini adalah kita sendiri," tambah Kak Yuna.

"Aku tahu, pasti kamu gak paham maksudku. El, yang bisa bebasin kamu dari kejaran Hercules itu kamu sendiri. Coba, kamu datengin dia baik-baik. Dia minta apa, pikirkan dampak positifnya."

"Kak, yang Hercules mau adalah kematian Elena, karena anaknya waktu itu mati pas jadi pacar Elena," jelasku.

"Kita bicara di mobil. Kakak cuman nunjukkin siapa yang kehilangan nyawa saat kejadian kakak dua tahun lalu. Kakak gak mau ada Tere dan Febian lain di dunia ini."

Kami kembali ke mobil Rovel. Sedari tadi aku tidak melihat Rovel bertingkah menyebalkan atau membuat Kak Yuna risih dengan tindakannya. Baguslah aku tidak perlu malu di depan mantan anggota intelejen ini. Aku tahu cara Aurel memperlakukan Kak Yuna dengan panggilan aku kamu, menunjukkan kalau Kak Yuna bukan orang sepele, walaupun sampai sekarang aku belum menemukan sisi power yang katanya sang pengendali bom.

Aurel menceritakan kalau Kak Yuna ahli cyber, merakit bom, pengintai, dan banyak hal fantastis lain. Tetapi mana? Yang terlihat hanya perempuan pemilik caffe shop langganan Aurel. Posturnya pun lebih tinggi aku. Ah, Aurel berbohong pasti.

Sempurna, Rovel di bangku pengemudi, sedang aku dan Kak Yuna di seat dua. Kami merenganggkan punggung sebelum memulai pembicaraan lagi.

"Kamu bilang, anaknya Hercules meninggal waktu pacaran sama kamu?" tanya Kak Yuna lebih dulu.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang