Bagian Sebelas

9 1 0
                                    

Aku sudah berhenti, tetapi genggaman Romeo semakin erat. Aduh, aku tertangkap sekarang.
Aku menarik kupluk hoodie yang membungkus seluruh kepala Romeo. Berhasil menghentikan langkah dia.

"Cepet lo pulang sebelum yang lain ke sini."

Mataku membesar, wajah Romeo penuh luka dan memar di beberapa titik.

"Lo--"

"Jangan peduliin gue." Romeo langsung memakai kembali kupluk hoodie dan berlari.

***

"Lo kenapa diem aja sih dari pagi. Dari mana lo? Kebiasaan bikin orang panik," omel Rovel.

Aku pergi ke kantin sendirian. Aurel dipanggil kepala sekolah, katanya alam ada lomba sains sebentar lagi.

"Males aja ngomong."

"Muka lo juga, jangan serius terus."

"Lo bisa diem gak."

"Nih, es jeruk seger." Rovel meletakkan es jeruk yang baru saja diseruputnya di hadapanku.

"Lo pernah mikir gak kalau tiba-tiba Hercules ngehadang kita? Terus kita ketangkep?"

"Ya kita kaburlah."

"Atau kita tiba-tiba--"

"El, lo gak usah bayangin yang gak penting kayak gitu. Kita fokus gimana Hercules tau kalau William meninggal bukan sepenuhnya salah lo."

"Ya aku tahu, tapi kayaknya semakin ke sini, jalan buntu. Otak gue gak bisa mikir."

"Harus ya itu terus yang lo pikirin?"

Rovel menatapku tajam. Aku tidak bisa mengelak di pandangan lain, iris kami terkunci.

"Gue gak akan biarin satu orang pun nyentuh lo."

"Kenapa? Lo bukan siapa-siapa gue."

"Lo orang yang biarin gue hidup."

Deg.
Aku kembali ke malam itu. Tidak ada alasan khusus membiarkan satu orang tetap hidup. Dan sekarang orang itu sedang memastikanku aman dari Hercules.

"Kalo gue mati waktu itu. Gue gak tau betapa menyesalnya mama melihat anak satu-satunya yang udah gak diharapin sama papanya berakhir terbunuh."

"Tapi gue bunuh temen-temen lo."

"William larang lo nembak gue karena dia tahu, gue yang bawa mamanya ke rumah sakit walaupun jelas nyawanya tidak tertolong. El, anggep gue William, gue pacar lo."

Aku memejamkan mata sambil menarik napas dalam.

"Will, aku menemukanmu dalam tubuh Rovel."

***
Mobil kami sampai di depan cafe shop Kak Yuna.

"Lo masih gak kapok?" beo Aurel langsung.
Kejadian kemarin sudah cukup memalukan.

"Gue gak akan nyerah," jawab Rovel sambil melepas sabuk pengaman.

"Enggak, Vel. Bastian bakal semakin benci sama lo," cegah Arman juga.

Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa. Membiarkan Rovel masuk adalah hal bodoh, tetapi Hercules akan menemukanku.

"Meminta seperti pengemis demi gue, gue rasa gak perlu. Kita pulang aja," putusku.

"Gue janji ini yang terakhir," keukeuh Rovel.

"Gue capek pingin tidur."

Sejak kematian papa memang aku hanya ingin tidur dan menjauh dari yang lain. Siklus ini juga terjadi enam bulan lalu. Aku menghabiskan waktu untuk tidur karena aku rasa waktu akan terasa cepat dengan memejamkan mata.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang