Bagian Lima

13 2 0
                                    

Aku meminta Aurel membeli makanan untuk hari ini. Untuk kami bertiga, iya Rovel akan bermalam lagi di sini. Ruang tengah menjadi markas kesukaan kami berkumpul, meski begitu si kutu buku bisa semalam penuh fokus pada buku sambil menimpali celotehan kami. Jika pembagian otak encer diulang takkan kubiarkan Aurel mengatre di depan, aku akan datang paling petang supaya bisa menangkap meteri pelajaran dengan mudah.

Soal orang tua Rovel, aku dan Aurel baru mendengar semuanya tadi di kantin. Papa dan mamanya bercerai karena orang ketiga. Rovel memang ikut nenek, tetapi nenek meminta dikirim ke panti jompo katanya karena di sana banyak teman.

Mama Rovel pemilik gudang sembako di kota ini, setiap hari pulang pukul sepuluh sampai dua belas malam. Jadi di rumah yang cukup besar itu hanya ditempati Rovel. Satu lagi, aku menduga kalau kelakuannya menyebalkan itu karena tidak ada teman yang menampung keluh kesahnya.

Soal genk motor pun mama Rovel tidak mengetahui dan semua masalah di sekolah juga tidak mengetahui. Mama Rovel akan selalu mengizinkan ke mana pun Rovel pergi, asal pamit. Tidak hanya itu, berapa pun uang yang dihabiskan Rovel, mamanya tidak akan bertanya untuk apa. Jadi kalau menganggap Rovel anak hilang kita salah besar, dia anak berpunya yang pura-pura sederhana.

“Minggir,” ucapku pada Jeff.
Jeff menghadang seenak jidat. Aku mengambil teko keramik untuk kami minum di ruang tengah.

“Lo bisa ‘kan bilang sama mereka kalau emang lo biarin Wiliam mati?”

Hal itu lagi yang dibahas.

“Lo mending balik deh ke rumah Papa. Males gue.” Aku menyerobot Jeff, tanganku ditarik dan terpaksa langkahku terhenti.

“Urusan pribadi kita belum selesai, ya, El.”

“Gue gak punya urusan apa pun sama lo atau Romeo. Gue ke sini cuman mau hidup tenang, berkali-kali gue bilang sama lo berdua, gue cuman pingin tenang. Terlahir sebagai anak mafia tuh udah beban, ya, kalian masih nekan gue?!” Nadaku tinggi.

Lengang, air mataku lolos. Niatan mereka memang memastikan aku tidak mengatakan kejadian sebelum pesta ulang tahun. Romeo sekarang berdiri di samping Jeff.

“Dengerin, posisi kita bakal sama-sama aman kalau lo bilang sesuai rencana Jeff,” tambah Romeo.

Aku menatap tajam, masih tidak mengerti saja mereka.

“Mimggir!!” bentakku. Mereka tidak membuka celah.

“Lo bilang dulu—“

Tanganku tidak terkontrol membuat teko di genggaman melayang mengenai wajah mereka berdua. “Gue bilang minggir!”

“Lo berani—“

“Apa! Stop bertingkah gue culun kayak dulu. Sekali lagi kalian gak minggir—“

Aku memutus perkataan sendiri, kursi stainless stell langsung kulayangkan ke tubuh mereka. Papa terlalu percaya dengan dua cicak yang suka menempel ini.

Kursi itu hanya membuat tubuh mereka mundur dua langkah, teko keramik sebelumnya hanya membasahi kaos Jeff dan Romeo. Romeo lebih dulu menyahut leherku, cekikannya membuat napasku tiba-tiba berjarak.

“Lo cuman perlu nurut sama skenario kita, udah, lo aman,” ancamnya.

“Rekaman kalian bakal gue kirim ke Om Gading!” teriak Aurel dari belakang Jeff dan Romeo.

Jeff menghampiri Aurel, sudah pasti akan menghapus rekaman itu. Sayang kalah cepat dengan Rovel yang mendaratkan pukulan di wajah Jeff. Tangan kanan Rovel juga sigap mengambil pistol di saku Jeff.

“El, lo tinggal bilang kapan gue narik trigger biar hancur kepala Jeff.”

Aku menatap Romeo yang masih mencekik leherku, dalam tiga detik ke depan tangannya tidak melepas leherku lihat saja Rovel akan menarik pelatuk pistol itu.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang