Bagian Sembilan

9 1 0
                                    

Aku pamit setelah menghabiskan satu gelas affogato. Dari tadi Rovel menelepon tanpa jeda. Sambil membaur dengan pejalan lain aku membaca pesan masuk sebanyak seratus lebih hanya dari Rovel.
Senyumku kembali mengembang, dia seperti papa. Selalu mengirim pesan dalam jumlah banyak dan isi pesan yang sama. Panggilan tanpa jeda sampai setidaknya aku membaca isi pesan.

"Paling enggak kabarin kek ke mana," Sarkas Rovel langsung.

"Ini di jalan, bentar lagi pulang," jawabku.

"Topi pake? Jaket? Masker?"

"Iya pake semua. Udah, ya, sampai jumpa di rumah," pamitku.

"Hati-hati, ya."

"Iyaaa."

Ini kali pertama aku melakukan perjalanan dengan kaki sendiri. Berpakaian seperti orang asing yang enggan menyapa manusia lain. Orang-orang sekitar sesekali melihat rambutku yang riweh karena topi Arman kebesaran di kepala.

Aku tidak langsung pulang, debit yang diberikan Arman aku sudah tahu pinnya, tetapi dia kartu debut hitam lainnya tidak bisa digunakan karena pin hanya papa yang tahu, tidak ada di catatan.

Aku segera memberikan KTP asli papa dan surat kematian dari rumah kremasi kemarin. Tiga puluh menit duduk di depan customer service menunggu proses perubahan nama. Secara bergantian aku akan mengurus aset papa, merubahnya menjadi milikku. Setidaknya cukup untuk kami makan berempat sebelum Arman mendapat pekerjaan tetap. Hanya Arman satu-satunya harapan kami bertiga yang masih sekolah.

Kematian papa hanya diketahui Arman, mungkin Hercules juga sudah menduga kalau papa meninggal, mereka tidak akan menemukan makam papa, karena kami memilih kremasi karena abunya bisa dibawa pulang, itu lebih aman. Mafia lain pasti menggebu-gebu menguasai daerah papa, ambil saja, aku tidak akan meneruskan pekerjaan haram itu.

Hercules sudah mengambil alih gudang persediaan barang dagangan. Arman memberikan gemboknya secara cuma-cuma. Hidup kami tidak akan tenang jika masih berkecimpung di dunia itu, ya walaupun aku dibesarkan dan dimanjakan sepenuhnya dari hasil penjualan barang-barang memabukkan tersebut.

Customer service memberikan debit baru sekaligus nama pemilik baru. Aku bisa menggunakannya sekarang.

"Asuransi Bapak Gading Admaja untuk Nona Elena Gaura sebesar lima ratus juta rupiah. Bisa dicairkan saat Nona Elena Gaura berumur dua puluh satu tahun," terang petugas sebelum aku pergi.

Aku mengangguk, umurku masih tujuh belas. Uang itu akan digunakan saat aku beranjak dewasa. Tidak ada yang menjamin kehidupanku enak lagi selain peninggalan papa.
Huh, kenapa sih Rovel dari tadi menelpon tanpa henti.

"Sampai mana? Gue ke sana, ya?"

"Gak usah. Sepuluh menit lagi sampai."

Sudah hanya itu saja yang ingin ditanyakan Rovel.

***

"Terus Kak Yuna bilang apa?" Aurel tidak sabar setelah aku mengatakan semuanya.

"Kak Bastian yang gak setuju. Dia kayaknya sayang banget sama Kak Yuna."

"Resek deh, si Kak Bastian itu. Pingin duel jadinya," sahut Rovel.

"Lo liat badannya aja pasti takut. Lo cungkring, kurus, kering, kerontang kayak gini mau duel sama Kak Bastian? Hahahaha jadi kue bantal lo yang ada," celetoh Aurel.

"Mana ada gue jadi kue bantal? Kurus-kurus gini tenaga gatot kaca, jangan remehin, lo, Rel." Rovel bangga menunjuk dadanya.

"Dari pada ngeyel, lo cari di internet Yuna Leogra. Bilang sama gue kalo masih mau duel sama Kak Bastian," tantang Aurel.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang