Bagian Dua belas

10 0 0
                                    

Rumah pertama saat aku pindah ke kota ini. Rumah ini tidak berpenghuni, anak buah Hercules meninggalkan rumah sederhana ini begitu saja. Ya, Jeff dan Romeo belum tahu tempat ini, mungkin itu alasan Arman membawa kami kembali ke sini.

"Rel, gue bisa tidur duluan 'kan?" tanyaku.

"Tidur aja, El."

"Lo nanti nyusul ke kamar gue, ya."

"Iya. Setelah selesai mengerjakan tugas sekolah."

"Besok Minggu, Rel."

Aurel hanya nyengir, dia sudah mententeng buku tentang kisah Ken Arok dan Ken Dedes. Pasti ribuan halaman di sana. Biarkan saja dia bergelut kembali ke masa kerajaan. Padahal ini pukul sebelas malam.

Apa karena Romeo bertemu denganku jadi dia menguntit diam-diam dan memberitahu Hercules.

Aku menarik selimut dan menutup mata, berusaha memejamkan mata agar cepat terlelap. Selama apa aku harus seperti ini, merepotkan orang lain yang tidak ikut perjalananku dari awal. Pikiranku terus berulang di sini sampai rasanya stress. Harus apa, harus bagaiamana, sampai kapan, apa jalan lainnya. Itu saja sampai otakku penuh.

***

Azan subuh aku terbangun, Aurel masih tidur di sampingku sambil memeluk buku. Aku merapikan rambut dengan tangan dan meraih tisu basah untuk mengusap wajah.

Rovel dan Arman tidur di sofa depan. Mereka berdua memiliki kebiasaan yang sama, tidur di sofa padahal ada kamar kosong yang lebih nyaman. Aku tidak tahu apakah cowok-cowok lain seperti itu juga.

Udara dingin menembus kulit wajah. Aku segera memakai kupluk hoodie dan menutup pintu kembali.

Aku menyusurk trotoar tanpa tujuan. Kalau di rumah bekas aborsi ada jembatan JPO sebagai tempat melihat keramaian. Kali ini aku tidak tahu akan berlabuh di mana. Terus, sampai melewati sekolahku, sekolahku hanya tiga ratus meter dari rumah.

Kursi di pinggir jalan berderet sebanyak lima atau enam sampai ujung sana. Aku baru tahu kalau arah utara sekolah ini lebih nyaman dari JPO. Aku duduk di kursi nomor dua, tepat di bawah lampu jalan yang temaram.

Kuhirup dalam udara sejuk pagi hari, aku langsung mengirim pesan kepada Rovel, supaya dia tidak menelepon secara beruntun. Aku juga minta tidak mencari dan menganggu supaya besok bisa menjadi Elena seperti biasa.

Orang-orang baru pulang dari masjid untuk salat subuh, selanjutnya sepi kembali. Jantungku berdetak tenang sesuai irama.

"Enggak Jeff, lo gak bisa bawa Elena ke Hercules!" Romeo langsung menarik tubuhku ke belakang tubuhnya.

Aku tersentak kaget, baru saja merasakan irama jantung normal sekarang debarannya berkali-kali lebih cepat.

"Kenapa lo jadi berlawanan gini, ha!" teriak Jeff sambil mengacungkan pistol ke arah kami.

"Lo gak lebih bajingan dari Hercules! Lo bunuh Tuan Gading, padahal dia yang mungut kita dari jalan!" balas Romeo.

Jantungku rasanya berhenti, Jeff yang membunuh papa.

"Hei, lo lupa misi kita?! Satu orang lagi terbunuh semua milik Gading akan menjadi milik kita!" sombong Jeff.

"Lo bunuh papa? Ha! Kenapa lo gak bunuh gue duluan!!" Aku menendang pistol Jeff dan menyambar kerahnya. Aku tahu tubuhku kalah tinggi dari dia.

"Lo mau semua harta papa! Ambil anjing!! Tapi gak seharusnya lo ambil nyawa orang tua gue!!" amukku, seluruh tubuhku rasanya berguncang setelah tahu semuanya.

"Lo bisa apa sekarang, ha?"

Aku gelagapan, Jeff mencekik leherku ke atas, sakit sekali.

"Bangsat, lo!" Romeo mendaratkan pukulan di wajah Jeff. Tangannya terlepas dari leherku.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang