Bagian Delapan

9 1 0
                                    

Pukul enam pagi. Sesuatu menusuk hidungku, baunya enak sekali, mungkin karena aku juga lapar semalam sibuk menggalaukan diri tentang apa yang menjadi takdirku sekarang. Anak mafia sebatang kara. Haduh, lama-lama aku risih dengan julukan mafia atau anak mafia atau keturunan mafia, sudah benar namaku Olivia sekarang kembali menjadi Elena.

"Sudah lebih baik?" tanya Aurel.

Dia sedang menggoreng ikan, Arman di kompor sebelahnya membalik tempe persegi agak gosong rupanya. Kalau seperti itu mereka terlihat kompak.

"Besok sekolah aja, kali. Bosen gue di rumah," ajakku.

"Ah! Gak seru lo. Bosen gue sekolah. Udah pinter gue," sahut Rovel tidak menyukai ideku.

"Sejak kapan lo niat ngerjain tugas? Tidur sepanjang mata pelajaran gak bakal bikin pinter," timpal Aurel.

"Gini-gini mantan ketua genk motor paling tersohor di sekolah, ya. Bangga dong," balas Rovel lagi membanggakan dirinya.

"Heleh, ke mana tuh anak buah lo yang sok jago ketemu kecoa di kantin pada kabur," ledek Aurel.

"Ternyata lo cerewet ya, Rel. Gue pikir pendiem, pelit kalau anak-anak minta jawaban, gak punya temen di kelas," tambah Rovel lagi.

"Lo juga gak punya temen 'kan?" ledek Aurel balik.

"Tukang tidur mana punya temen. Noh Pak Roman hahaha," timpalku.

"Lo harusnya bela gue dong, El," protes Rovel.

"Idih ngapain."

"Iya dong, biar semakin cinta sama sayang ke gue." Rovel sangat pede.

Kulempar centong nasi di depanku ke arah Rovel, sejak pertama bertemu dia selalu percaya diri berlebih kalau aku mencintainya.
Arman dan Aurel ikut menertawai Rovel yang menggosok jidatnya karena centong sempurna mengenai bagian atas mata itu.

"Udah jangan berantem terus, ntar beneran cinta loh, biasanya gitu. Yuk makan." Arman membawa tempe goreng dan ikan goreng ke meja makan yang muat untuk empat orang, pas sesuai jumlah kita.

Aku mengambil sedikit nasi, sepertinya ikan goreng itu lebih enak dari pada tempe gosong buatan Arman. Aurel juga mengambil ikan.

"Yaudah, cewek-cewek makan ikan goreng saja, yang cowok makan tempe gosong pun tak apa," keluh Rovel melihat kami mengambil ikan satu ikan utuh.

"Nih, laper tahu jangan banyak ngoceh deh. Kayaknya lo yang cerewet bukan gue." Aurel mengembalikan ikan. Aku membagi setengah badan ikan kepada Aurel.

***

Aku masuk coffe shop Kak Yuna. Tempat ini lumayan ramai menjelang sore. Ada satu kasir yang melihatiku kebingungan mencari di mana Kak Yuna. Aku mendekat.

"Kak Yuna ada?"

"Mau apa cari Yuna?"

Aku baru sadar kalau kasir ini adalah Bastian. Wajahnya persis di foto internet. Badannya pun tinggi kekar.

"Saya butuh bantuan Kak Yuna kemarin saya diajak Kak Yuna ke makam Febian dan Tere."

"Hai Elena. Gimana? Lebih baik?" Kak Yuna menyambutku dari belakang.

Aku menoleh, memberikan senyum terbaik agar dia percaya kalau aku sudah siap kali ini.

"Ada apa, Na?" sahut Kak Bastian.

"Bas, ini Elena. Aku udah cerita ke kamu kemarin," jelas Kak Yuna.

***
Kami bertiga duduk di meja paling ujung caffe shop. Sepertinya ini meja khusus tamu atau teman Kak Yuna dan Kak Bastian.

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang