Bagian Empat

10 1 0
                                    


Aku lebih tertarik naik motor bersama Aurel ketimbang diantar Jeff dengan mobil. Mood booster pagi ini bagus setelah Aurel mengajakku salat subuh. Aku belum berbicara kepada Papa kalau ingin mengikuti agama Aurel, sebelumnya aku dan Papa sering beribadah ke pura sebelum matahari terbit. Tanpa perlu bicara pasti Jeff dan Romeo laporan pagi dengan Papa.

Parkiran motor agak ramai, kebanyakan berjajar motor trail dan motor sport. Terhitung sejauh berjalan ke lapangan sekolah hanya ada dua motor matic, milik Aurel dan satu berwarna biru elektrik di ujung. Saat masuk kelas Rovel terlihat nyenyak membenamkan wajah, kalau dipikir dia menghabiskan uang untuk tidur di kelas.

Pelajaran dimulai, aku heran mengapa Aurel sama sekali tidak mengantuk. Sedangkan aku puluhan kali menguap dan beberapa kali mencubit tangan agar tetap fokus. Aku tidak mau mengikuti jejak Rovel, dia menjadi temanku saja karena ini sudah tahu identitas asli cukup menyebalkan. Apalagi ingin ku kuncir saja rambut godrong mirip orang tidak pernah mandi.

Perjuangan mengerjakan soal asing di otakku, hahaha nilai enam puluh lima lumayan bagus untukku dari pada tidak mendapat nilai sampai bel istirahat.

Kami berdua menuju kantin, memesan es jeruk seperti biasa,. Tak lama Rovel membuntuti kami mengambil air mineral dan duduk di meja kami. Aku mulai terbiasa dengan tatapan teman-teman di kantin. Mereka sebenarnya mengagumi Rovel dan Aurel. Satu gadis paling pintar di sekolah ini, tidak mendapat teman selama dua tahun dengan alasan pelit dimintai jawaban. Sebenarnya itu wajar sih, Aurel semalam suntup belajar agar nilainya bagus, seenaknya saja meminta jawaban tanpa belajar. Satunya lagi si anak genk motor ini, ah sudah malas aku mengulang cerita tentang cowok ini.

Di sela-sela percakapan kami, aku iseng membuka laman instagram, lama aku membiarkan sosial media ini menganggur. Unggahan terakhir bersama Wiliam di makam mama, kolom komentar kututup saat aku sadar dari koma, aku ikut panas membaca ciutan lambe-lambe pedas di lapakku. Ada satu permintaan mengirim pesan masuk, tanggalnya empat bulan lalu, biarkan saja, paling memaki-maki dan sok tahu apa yang harus kulakukan.

“Orang meninggal masih aja lo simpang. Katanya gak mau sinting?” celetuk Rovel, matanya mengarah pada postingan foto terkahir.

“Cuman kenangan doang.”

“Indah banget ya sampai harus dikenang?”

Aku bingung menjawab apalagi, semasa bersama Wiliam tidak ada hal romantis menyelimuti, tahu sendiri kami memiliki hubungan karena memperkuat kubu masing-masing, jadi tidak ada yang indah sama sekali. Aku mungkin terlalu baper sampai jatuh cinta sungguhan, sampai menangis tujuh hari penuh setelah koma dan Papa memberitahu kalau dia meninggal.

“Gue pernah baca novel, katanya yang indah gak boleh dikenang tapi diabadikan. Lah lo sama Wiliam aja pahit ngapain lo abadiin?” tambah Rovel lagi.

Aku menghela napas, belum rela menghapus satu-satunya foto berdua dengan Wiliam. Tidak ingin menambah ocehan Rovel aku langsung menutup halaman instagram seraya menyeruput es jeruk.

“Rel, andai aja mencontek itu halal, lo aja yang belajar gue tinggal copy paste.” Rovel mengambil topik lagi, tidak kusangka satu ini punya banyak topik untuk dibicarakan.

“Huu lo aja yang males. Gak ada ya acara nyontek gitu, belajar makanya jangan tidur terus di kelas,” judes Aurel sambi memanyunkan bibir.

Mereka terus berdebar soal mencotek, giliran aku menjadi kekonyolan mereka. Tawaku hampir saja tidak bisa dikontrol.

Pulang sekolah aku dan Aurel mampir ke kantin membeli makanan ringan untuk kita di rumah, sayang tidak ada menu yang tersisa. Saat akan kembali ke parkiran, mata kami tertunu pada Pak Roman sedang berhadapan dengan Rovel di sudut kantin.

“Syukur kalau anak sama bapak udah akur. Gue liatnya adem juga,” puji Aurel.

“Iya, siapa tahu setelah akur gini, Pak Riman gak killer lagi di kelas.”

BUG!

Aku langsung berlari melihat Pak Roman mendaratkan pukulan hingga membuat tubuh Rovel tersungkur.

“Stop, Pak!” Aku menghadang tubuh gagah Pak Roman yang akan meraih kerah seragam Rovel. Aurel membantu Rovel berdiri.

“Kamu gak usah ikut campur urusan saya! Minggir!” Mudah daja Pak Roman menyingkirkan tubuhku. Beliau juga menampis Aurel, kerah seragam Rovel berhasil didapatkan.

“Lo sekali lagi bilang aneh-aneh ke Indira, gak bakal gue anggap anak!” curah Pak Roman di depan wajah Rovel.

“Sejak kapan lo anggep gue anak?!” balas sengit Rovel.

Pak Roman kembali mendaratkan pukulan di wajah anaknya. Sungguh aku tidak habis pikir bagaiaman seorang ayah tanpa ampun memukul anaknya sendiri. Tidak ada perlawanan dari Rovel, dia bermuka malas dan pasrah.

“Pak Romah saya record. Video ini akan teesebar kurang dari dua belas jam sampai besok Pak Roman di panggil kepsek.” Aurel sudah merekam kelakuan Pak Roman sejak tadi.

Tangan Pak Roman lepas dari kerah Rovel, sebajta paling ampuh karena Aurel bisa membuat rekaman itu dengan mudah tersebar. Tanpa mengatakan apa-apa guru kiler itu berlalu membawa tas dan jaketnya.

Muka si tukang tidur di beberapa sudut mengeluarkan darah dan sebagian membiru. Aku berlari meminta es batu dan kaiin pada penjaga toko yang ikut menyaksikan kejadian barusan.

“Sering Neng Pak Roman meukulin anaknya sendiri.”

“Terus gak ada yang mksab gitu, Bi? ‘

“Kami takut Neng sama beliau.”

Aku kembali dengan air es dan kain. Kukompres bagian wajah Rovel yang memar. Aurel merapikan meja kursi berantakan aksi Pak Roman tadi.

“Lo ada masalah apa, sih, sama Pak Roman sampai kayak gini. Parah tahu, lo bisa laporin ini ke ppolisi”

“Gue bilang ke nyokap kalau di kelas gue dilempar buku tebel sampai kepala gue pusing. Dan nyokap negur bokap dengan somasi. Jadinya gini deh. Gue gak mau diem aja, jangan lupa Rel, rekaman itu kirim ke gue, senjata empuk buat kasih mampus ke dia. Siapa suruh milih selingkuhan dan buang berlian kayak nyokap gue.”

***

ELENA GAURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang