Setelah memastikan benda-benda yang perlu dibawanya--termasuk buku kecil itu--terkemas dalam tas kanvas, Rania mendatangi Dyah di warung. Padanya, ia tetap pamit pergi menggambar kendati tampaknya isi tasnya ini tak akan terpakai. Hanya dengan beralasan seperti itu yang menurutnya akan mendapat izin dari sang bunda. Lantas begitu wanita itu mengangguk, gadis itu segera berbalik pergi sebelum ekspresi antusias yang berlebihan di wajahnya tertangkap.
Ia tahu, ia berangkat jauh lebih awal daripada yang dijanjikan. Namun ia tak ingin membuat Jayden menunggu. Setelah berkali-kali membaca SMS-nya, kelihatannya laki-laki itu punya sesuatu yang penting untuk diutarakan. Dan saat ia belum menemukan siapa-siapa di sana, desah leganya terembus. Ia tak ingin mendapat kesan buruk darinya.
Di tempat itu, Rania tak sanggup berbuat apa pun selain duduk dan memperhatikan pejalan kaki di trotoar, murid-murid SMA yang memasuki gedung sekolah di seberang jalan dan kendaraan yang melaju dengan kecepatan sedang di luar pagar taman balai kota. Kupu-kupu yang enggan berhenti beterbangan di perutnya membuatnya gugup. Ia bahkan tak mampu mengisi waktu dengan membuat sketsa.
Semakin waktu bergerak mendekati yang ditentukan kemarin, semakin ia tak bisa mengendalikan debaran tak karuan di dadanya. Kepalanya mulai menoleh ke kiri-ke kanan dengan durasi jeda yang semakin singkat. Sesekali pula diperiksanya ponselnya, siapa tahu pemuda itu mengirim pesan perihal ia akan datang terlambat atau tidak. Namun hingga jarum panjang jam pada menara gereja di sudut jalan itu bergeser menjauhi angka dua belas, hingga punggung Rania menghangat diterpa sinar matahari yang posisinya semakin tinggi, lelaki itu belum juga terlihat kemunculannya.
Binar di manik gadis itu meredup. Sekali lagi, seorang laki-laki mengecewakannya. Seandainya ia selalu mendengar nasihat ibu dan menurut, mungkin ia tak akan sekecewa ini. Mungkin ini saatnya mulai menerima keadaan, gadis cacat seperti dirinya tak pantas bersanding dengan lelaki sempurna seperti Jayden.
Dihelanya napasnya dalam-dalam dan diembusnya perlahan sebelum ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Sementara berbagai ide bergumul di benak, alasan apa yang hendak ia katakan pada Dyah bila kepergiannya yang hanya sebentar dicurigai. Dan bagaimana ia harus mengatur ekspresinya supaya lukanya tak terbaca.
Sambil mendekap tas kanvasnya di dada, Rania menyusuri jalur yang sama ketika memasuki taman tadi. Langkahnya begitu cepat, bahkan tanah becek pun tak bisa menghentikannya. Kecuali sesosok tubuh menjulang dengan pakaian keren yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Sepertinya laki-laki itu juga tak membiarkannya melintas. Ke mana pun Rania menjejak, ia selalu menghalangi.
Kesal, gadis itu memberanikan diri mendongak, mencoba menantang si pengganggu. Namun .... Otot-otot wajahnya yang tegang seketika mengendur kala mengetahui sosok itu. Jayden.
Di hadapannya, lelaki itu tersenyum lebar, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. Dan kekecewaan Rania yang belum beranjak sepenuhnya tak membiarkan bibir mungil itu mengulas senyum. Ia menunggu Jayden yang berucap duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Pictures of the Imperfections
Romance[Romance] Mengidap OCD sejak sekolah menengah, Jayden benci bila nasi di piringnya bercampur dengan sayur. la benci bila pakaian di lemarinya tidak tersusun sesuai warna. la benci bila piring-piring di raknya tidak terurut dari yang berukuran kecil...