17. The Flaw in the Agreement

176 43 36
                                    

Sebelum sempat membereskan sketsa-sketsa putrinya yang ia tunjukkan pada kedua tamunya tadi, Dyah keburu kedatangan beberapa pelanggan sekaligus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum sempat membereskan sketsa-sketsa putrinya yang ia tunjukkan pada kedua tamunya tadi, Dyah keburu kedatangan beberapa pelanggan sekaligus. Sedangkan Rania pamit hendak mengantar kepergian Jayden dan Zaki. Akhirnya ia baru sempat mengembalikan map itu ke tempatnya di kamar sang putri setelah warungnya kembali kosong.

Namun sebelum menyisipkan map itu di antara jajaran koleksi buku Rania di meja, gerakannya dihentikan oleh sehelai kertas yang seolah tercabut dari sela-sela buku. Pikirnya, kertas itu mungkin tak sengaja mencuat saat gerakan tergesanya mencabut map tadi.

Dyah pun mengurungkan niatnya mengembalikan map itu ke tempatnya, setidaknya hingga ia selesai merapikan kertas yang tercabut. Namun lagi-lagi gerakannya terhenti kala mengenali sketsa wajah yang tergores pada kertas itu.

Wanita itu ingat, Rania pernah membuat sketsa wajahnya dan ia harus mengakui, sketsa itu sangat mirip dengannya. Dan melihat sketsa yang berada di tangannya ini, dugaan Dyah tak mungkin salah. Ini memang Jayden.

Pintu yang tiba-tiba terbuka, serta merta menghenyakkan Dyah. Tubuhnya sontak berbalik dan menemukan Rania berada di ambangnya. Namun terlambat untuk menyembunyikan kertas yang dibawanya.

"Ibu kok di sini?" cetus gadis itu yang juga tak bisa menyimpan rasa kagetnya. Penglihatannya kemudian turun pada tangan Dyah, di mana sketsa Jayden berada. Wajahnya seketika memanas. Rahasianya yang ia pikir sudah tersimpan rapi akhirnya terkuak juga.

Melihat rona merah di wajah sang putri, Dyah mengurai senyumnya. Lalu disodornya gambar itu padanya seraya menjelaskan, "Tadi Jayden sama Zaki pengin lihat gambar-gambar kamu. Jadi Ibu langsung ambil aja."

Malu-malu, Rania menerima operan kertas itu. "Ibu ngak marah?" tanyanya.

Masih tersenyum, Dyah menggeleng. "Ibu cuma pesan, sebelum kalian memulai hubungan, kenali dulu keluarganya. Jangan sampai kamu nyesal nantinya."

Senyum gadis itu pun mencekah dan sekonyong-konyong ia menghambur dalam pelukan Dyah. Namun di balik punggung Rania, senyum wanita itu menyusut perlahan seiring binar matanya yang meredup.

*

Sebenarnya Jayden tak ingin menyusahkan Zaki. Ia hanya ingin buang air, tapi ia tak bisa memercayai toilet umum, sekalipun kondisinya bersih dan tersedia dalam mal terdekat. Ia pun segera mengiakan saat sahabatnya itu menawari toilet di rumahnya yang lebih dekat dengan tempat mereka berada daripada pulang ke apartemen.

Namun sialnya, Jayden ternyata tak cukup sekali menggunakan toiletnya. Setelah bolak-balik yang tak terhitung dan melihat rona yang semakin pucat itu, Zaki memutuskan membawa sahabatnya ke rumah sakit.

Di sana, pemuda itu langsung ditangani di IGD, dibaringkan di brankar sempit yang kasurnya tak seempuk miliknya dan dengan punggung telapak tangan ditusuk jarum infus. Dan selama itu, Zaki hanya meninggalkan sisinya ketika harus mengurus administrasi. Ia bahkan melewatkan waktu makan siangnya karena ia juga merasa bertanggung jawab.

✔Pictures of the ImperfectionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang