15. The Flaw in His Promise

181 43 26
                                    

Jayden membuka satu lagi kancing kemejanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jayden membuka satu lagi kancing kemejanya. Ia bahkan menarik kerahnya hingga menjauhi leher. Namun apa pun yang ia lakukan, hanya sedikit oksigen yang berhasil ia raup untuk mengisi paru-parunya. Ia pun bersandar lemas pada daun pintu.

"Lo bisa lanjut, sob? Atau lo mau tunggu di teras aja?" bisik Zaki.

"Gue gak bisa berhenti, Zack," sahut Jayden dengan suara parau.

"I know. But you don't look okay to me."

"Temannya kenapa, Nak Zaki?" Dyah menginterupsi.

"Saya gak apa-apa, Bu," Jayden yang menjawab dengan napas tersengal.

"Boleh minta air, Bu?" pinta Zaki.

"Boleh. Sebentar, ya." Wanita itu berbalik arah, memasuki bagian rumah yang lebih dalam di balik tirai bermotif batik yang berfungsi sebagai pengganti pintu.

Tak mengindahkan kebencian Jayden bila disentuh, Zaki melingkarkan lengannya di lengan sahabatnya dan menggiringnya kembali ke teras lalu mendudukkannya di kursi bambu. Mendapatkan udara segar kembali, napas Jayden menjadi lebih teratur setelahnya.

Dyah muncul tak lama kemudian dengan segelas air di tangan dan segera mengopernya pada Zaki.

"Minum dulu, Jay," titah Zaki seraya mendekatkan bibir gelas itu pada mulut Jayden.

Jayden menurut dan menenggak beberapa teguk. Ia baru berhenti minum saat isi dalam gelas itu tersisa seperempatnya.

"Sob, gue ragu kalau lo maksa masuk lo bakal baik-baik aja. Kayaknya lo harus stay di sini," ujar Zaki kemudian.

"Tapi gue gak bisa berhenti, Zack," bisik Jayden. "Gue harus lihat gambar-gambar Rania."

"Yang penting masalah lo dulu ...."

"Itu juga penting!" Jayden menyentak, membuat Zaki dan sang tuan rumah yang masih berdiri di depan pintu terperangah.

"Oke." Zaki mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat tak ada kata yang tercetus dari bibir tipisnya. Namun segala ide yang ada di kepalanya dikuras demi tak merugikan kedua belah pihak. Dan begitu ide itu didapatnya, segera dipalingkan wajahnya ke arah Dyah.

"Gambar-gambarnya Rania boleh dibawa ke sini, Bu?" tanyanya.

"Boleh," jawab wanita itu tanpa terlalu lama berpikir.

Zaki menggeser duduknya mendekati sobatnya begitu sosok Dyah menghilang dari teras. "Segitu pentingnya, Jay, lo mau lihat gambar-gambar dia?" bisiknya.

"Gue janji mau bikin pameran untuk lukisan-lukisannya, Zack," balas Jayden.

"Serius, sob?" Netra Zaki membeliak.

Jayden menggeleng.

"Gila lo, ya."

"Itu cuma trik gue supaya dia mau bantu gue sembuh."

"Astaga. Tega banget lo."

"Ini, Nak Zaki." Ibu Rania muncul tiba-tiba seraya mengangsurkan sebuah map lusuh yang cukup tebal.

✔Pictures of the ImperfectionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang