9. The Flaw in Her Dream

189 50 23
                                    

Jayden baru merasa bersih setelah menggosok kulitnya berkali-kali dengan spons dan sabun di bawah pancuran kamar mandinya, hingga gosokan itu meninggalkan bekas kemerahan di beberapa bagian tubuhnya untuk beberapa waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jayden baru merasa bersih setelah menggosok kulitnya berkali-kali dengan spons dan sabun di bawah pancuran kamar mandinya, hingga gosokan itu meninggalkan bekas kemerahan di beberapa bagian tubuhnya untuk beberapa waktu. Seandainya ia tak pernah bertemu Rania, seandainya ia tak punya keinginan untuk memotret human interest dan seandainya ia tak memaksa diperkenalkan pada keluarga Rania, semua ini tak akan dialaminya. Dan sepertinya ia harus mengurungkan niat 'mengangkat' gadis itu.

Begitu melihat rumah Rania, pikirannya berubah bagai anak panah yang melaju pesat namun berbelok sebelum mengenai sasaran. Bagian depannya saja sudah membuatnya risi. Jemuran yang bertengger di pagar, lumut di sudut-sudut dinding serta genting dan kaca jendela yang kusam. Lalu bagaimana dengan bagian dalamnya? Ia bahkan tak ingin membiarkan bayangan itu mampir barang sejenak di benak.

Tak berpikir panjang lagi, ia langsung berpamitan dengan alasan apa pun yang terlintas di kepala, sekalipun tak masuk akal. Dan masih membekas raut Rania ketika ia meninggalkannya tadi. Ia tahu gadis itu kecewa. Sebenarnya ia pun tak tega. Namun ia tak akan bisa bekerja dengan maksimal dalam lingkungan seperti itu. Untung saja ia buru-buru pergi. Bila tidak, mungkin ia sudah mengalami serangan kecemasan dan entah bagaimana caranya ia pulang.

Pemuda itu membiarkan tubuhnya terhempas di sofa setibanya kembali di unit dari kios laundry di lantai dasar untuk mencucikan pakaiannya yang terciprat air kubangan tadi. Terbebas dari itu semua membuatnya lega, seperti beban yang terlucuti dari pundak. Namun baru sesaat tubuh bidang itu menyentuh sandaran sofa empuknya, ia sudah menariknya lagi, untuk menggapai ponsel yang ia letakkan di meja. Dan dengan dua kali ketuk, ia langsung terhubung dengan nomor Zaki.

"Kenapa, sob?" sambut pemuda itu dari seberang.

"Gue gak bisa, Zack," sahut Jayden.

"Apanya yang gak bisa?"

"Gue gak bisa motret Rania."

"Rania siapa?"

"Cewek yang pakai headset itu."

"Kenapa emangnya?"

"Waktu dia bilang rumahnya di Braga, gue pikir dia punya toko di sana dan dia tinggal di atasnya. Ternyata dia bawa gue masuk ke gang yang becek. Udah gitu rumahnya lumutan dan berdebu. Gue jadi ilfeel," adu Jayden berapi-api.

Di seberang, tawa Zaki terdengar hingga membuat telinga Jayden berdenging. "Itulah risikonya motret human interest, sob. Lo gak tau siapa yang jadi subjek lo sampai lo mutusin untuk kenal mereka lebih jauh."

Jayden mendengus.

"Jadi kesimpulannya lo batal pindah aliran?" Suara Zaki lagi.

"Gak tau lah, Zack," desah Jayden. "Sebenernya gue gak tega karena gue udah telanjur minta dikenalin sama keluarganya. Tapi kalau lingkungannya seperti itu, gue yakin, gue gak akan bisa kerja."

✔Pictures of the ImperfectionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang