12. The Flaw in the Attitude

191 45 31
                                    

Bukan hanya mental untuk memasuki rumah Rania yang harus Jayden persiapkan, tapi juga bagaimana menghadapi sang bunda yang sebelumnya seperti menolak kehadirannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan hanya mental untuk memasuki rumah Rania yang harus Jayden persiapkan, tapi juga bagaimana menghadapi sang bunda yang sebelumnya seperti menolak kehadirannya. Karenanya, ia mengambil waktu cukup lama berdiri di luar halaman rumah itu.

"Yakin?" tanya si gadis yang juga masih berdiri di sisinya itu dengan suara sengau. Hanya untuk memastikan pendiriannya belum berubah.

Tidak. Jayden tidak yakin. Usaha untuk menjinakkan serangan panik itu tebersit karena niatnya untuk 'mengangkat' gadis ini. Dan ia tahu itu tak akan mudah. Namun ia sudah telanjur berjanji.

Dan sudah terlambat untuk mundur.

Di tengah keringatnya yang mulai kembali menitik satu-satu, lelaki itu menghela napas dalam lalu segera mengembuskannya kasar. "Yakin," gumamnya tak sungguh-sungguh.

Bersama Rania ia melintasi pagar, menapak di atas alas semen, mendekati bagian depan warung si pemilik rumah.

"Kamu di sini. Saya panggil Ibu." Rania mendului langkah Jayden begitu mereka menjejak di teras. Dan tanpa menunggu lelaki itu mengiakan, sosok gadis itu menghilang dalam warung.

Pelan, desah lega Jayden terembus. Setidaknya ia masih punya tambahan waktu mempersiapkan diri sebelum bertemu ibu Rania.

Di warungnya, Dyah yang tak sedang melayani pelanggan, mengisi kekosongan waktu dengan menggulirkan berita-berita hiburan dalam ponsel pintarnya. Setidaknya, bila para pelanggan itu mulai mengajak bergibah, ia tak akan menjadi pihak yang pasif.

Kepalanya terdongak saat merasa seseorang memasuki warungnya. Namun rona herannya terbentuk mengetahui putrinyalah yang datang, bukan salah satu pelanggannya. Gadis itu masih sama cerianya seperti saat berpamitan ke sungai tadi, tapi cerianya kali ini tak tampak dibuat-buat.

Sesuatu pasti mengubahnya.

"Ibu, sini," ajaknya seraya menyambar pergelangan tangan sang ibu.

"Ke mana?" tanya Dyah semakin bingung. Helaan putrinya yang kasar dan tiba-tiba begitu menyentaknya dan membuatnya nyaris terjerembap.

Rania yang tak sempat melihat gerak bibir Dyah tak menyahut pertanyaannya. Ia terus menggiring wanita itu hingga melintasi ambang pintu warung, kembali menghadapi Jayden yang belum meninggalkan tempatnya.

Jayden mengangguk hormat begitu berhadapan dengan si pemilik rumah, tapi tak demikian dengan wanita itu. Kemunculan pemuda itu kembali membangkitkan rasa bencinya.

"Mau apa lagi ke sini? Belum puas nyakitin anak saya?" hardik Dyah. Bahasa tubuhnya--maju selangkah dengan penuh intimidasi--menunjukkan seolah ia hendak mengusir Jayden.

Melihat gelagat kurang baik itu, Rania sontak menarik lengan Dyah dan menghadapkan tubuh sang bunda padanya. Dengan buru-buru, ia memberi penjelasan menggunakan bahasa isyarat. Penjelasan yang tak terlalu panjang pun terlalu pendek, tapi tampaknya cukup mampu mengubah sikap Dyah. Otot-otot yang menegang di sekitar wajahnya seketika mengendur. Api yang berkobar di maniknya sekonyong-konyong padam. Dan saat kembali menghadapi Jayden, sikapnya melunak.

✔Pictures of the ImperfectionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang