Sesuai kesepakatan dalam SMS kemarin, Rania menunggu calon tamunya di pos jaga. Jayden memang memintanya menunggu di sana untuk berjaga-jaga bila amarah Dyah masih berkobar. Laki-laki itu juga bilang, ada seseorang yang ingin diperkenalkannya padanya. Namun siapa dia dan apa tujuannya, ia tak diberi tahu.
Orang yang ia tunggu akhirnya baru datang hampir satu jam setelah waktu yang dijanjikan bersama seorang pemuda sebaya berwajah blasteran. Namun mengingat penjelasan laki-laki itu kemarin--yang bisa terserang panik bila tak memeriksa kompor, jendela dan pintu berkali-kali--Rania berusaha menyimpan kesalnya. Senyumnya pun diupayakan terulas setulus mungkin.
Gadis itu bangkit dari duduknya di tepi pos jaga begitu jarak yang dibuat oleh Jayden dan temannya menyisakan beberapa langkah saja. Seperti biasa, pemuda itu bersikap seolah keterlambatannya adalah hal yang normal. Dan Rania sudah tahu, bagi penderita OCD seperti Jayden, orang-orang di sekitarnyalah yang harus memahami kondisinya.
Ia hampir menarik buku kecil dari sakunya ke luar sebelum Jayden melambaikan tangan dan berkata, "Ini yang mau gue kenalin ke lo. Teman gue."
Perhatian Rania beralih pada laki-laki di samping lawan bicaranya. Hanya saja tak diulurkannya tangannya, berjaga-jaga bila lelaki ini juga mengidap gangguan mental yang sama dan enggan bersentuhan. Karenanya, ia hanya mengangguk.
Namun tak diduganya, justru lelaki itu duluan yang mengulurkan tangan. "ZAAA-KIII," ujarnya pelan dan keras.
Suara lantang Zaki memang tak memengaruhi Rania, tapi bagi Jayden, suara yang sanggup melampaui derasnya aliran air sungai itu, malah membuatnya bergidik.
Sambil tersenyum, Rania membalas, "Rania," dengan volume normal.
Setelah jabatan tangan itu terurai Jayden serta merta menyikut sahabatnya. "Gak usah lebay. Dia bisa baca gerak bibir," bisiknya.
"Oh." Zaki meringis.
Tak menggubrisnya lagi, kini Jayden meminta buku kecilnya dari Rania. Dan begitu benda itu sudah berada di tangannya, ia menulisinya dengan gerakan cepat. 'Zaki mau ketemu ibu lo. Dia yang bakal jelasin alasan gue motret lo. Dia lebih pintar ngomong daripada gue.'
Rania mengangguk sebelum mendului keduanya, menggiring mereka ke rumahnya. Dan seperti kemarin, tamunya diminta menunggu di teras sementara ia memanggil Dyah di warung. Seperti kemarin pula, wanita itu tengah mengikuti berita artis-artis di ponselnya ketika sang putri berdiri di hadapannya.
"Ada apa?" tanya Dyah.
"Ada Jayden," sahut Rania antara ragu dan cemas. Cemas bila sang ibu kembali mengamuk dan mengusir pemuda itu pergi dengan sapu lidinya.
Namun dugaannya meleset. Dyah malah memperlihatkan ekspresi sulit-percaya. Sulit ia percaya, lelaki yang kemarin diusirnya masih punya nyali untuk menunjukkan dirinya lagi di sini. Padahal melihat reaksinya, saat ia menyabetnya dengan sapu lidi, Jayden tampak tertekan dan bahkan bersembunyi di balik punggung Rania.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Pictures of the Imperfections
Romance[Romance] Mengidap OCD sejak sekolah menengah, Jayden benci bila nasi di piringnya bercampur dengan sayur. la benci bila pakaian di lemarinya tidak tersusun sesuai warna. la benci bila piring-piring di raknya tidak terurut dari yang berukuran kecil...