18. The Flaw in the Abolition

164 41 34
                                    

Jayden lupa kapan terakhir kali berada dalam satu mobil bersama Lisyana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jayden lupa kapan terakhir kali berada dalam satu mobil bersama Lisyana. Namun ia tak pernah lupa bagaimana rasanya. Panas, pasalnya sejak menempati jok belakang di sedan mewah itu, mama tak berhenti mengomel.

"Makan apa kamu tadi?" tanya Lisyana, yang sebenarnya lebih mirip interogasi.

"Seblak," jawab Jayden singkat.

"Seblak?" ulang wanita itu dengan netra membeliak.

Jayden mengangguk.

"Siapa yang suruh?"

"Gak ada. Itu kemauan Jay sendiri," pemuda itu berdusta.

"Jangan bohong! Mama tau kamu gak suka makan sembarangan."

"Bener, Ma." Jayden masih berusaha meyakinkan sang bunda. Namun kelihatannya Lisyana masih sulit diyakinkan. Wanita itu sangat yakin, kebiasaan makan putranya belum berubah.

"Pasti gara-gara anak cacat itu," tebak Lisyana dengan suara pelan, tapi terdengar menusuk.

Sesaat, Jayden merasa jantungnya seperti berhenti berdenyut mendengar julukan itu tercetus dari mulut mama, apalagi disebut dengan penuh kebencian. "Namanya Rania, Ma. Sebutannya difabel, bukan cacat," belanya saat merasa tak ada gunanya lagi menyembunyikan perihal gadis itu dari mama.

"Mau namanya Ratu Elizabeth pun Mama gak peduli. Dia sudah menjerumuskan kamu."

"Dia gak jerumusin Jay, kok."

"Kalau enggak, kenapa kamu berubah?"

Jayden terdiam. Ia bahkan tak menyadari dirinya berubah--andai mamanya berkata benar.

"Kamu terlalu lama hidup sendiri. Kamu jadi gampang terpengaruh, gak ada yang mengarahkan kamu. Kamu gak tau apa yang kamu lakukan, kamu gak kenal siapa yang jadi teman kamu ...."

"Emangnya Mama kenal?" gumam Jayden pelan dengan wajah menghadap jendela, menghindarkan gerak bibirnya terbaca oleh mama.

"Kamu bilang apa?" Kepala Lisyana berputar cepat ke arah putranya yang duduk di ujung jok. Intonasinya kembali meninggi.

"Gak ada," elak Jayden.

"Seenggaknya Mama lebih tau si Cacat itu cewek seperti apa. Kalau dia baik-baik aja, dia gak akan kena kutuk sampai cacat."

"Ma!" Kini kepala Jayden yang berputar menghadap Lisyana. "Gak ada orang yang pengin terlahir cacat, Ma. Rania cacat karena takdir."

"Lihat sendiri, 'kan? Kamu juga jadi berani melawan Mama."

Lelaki itu terdiam lagi. Kalimat itu selalu berhasil membungkam mulutnya karena bagaimanapun ia masih punya rasa hormat terhadap Lisyana dan ia tak ingin dicap sebagai anak durhaka. Lagi pula mama tak pernah membiarkannya memenangkan perdebatan.

Akhirnya membiarkan omelan panjang mama tak terbalas pun menjadi pilihan. Matanya kembali diarahkan pada pemandangan di luar jendela sambil mencoba menulikan pendengarannya. Perjalanan ini masih panjang, dan Jayden lebih memilih lelah dalam perjalanan ketimbang lelah berdebat.

✔Pictures of the ImperfectionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang