Saat tak langsung menerima jawaban setelah mengirim pesan kemarin, Jayden masih berpikir mungkin Rania sibuk atau ponselnya perlu di-charge atau tak punya pulsa. Namun ketika bangun tidur pagi tadi ia tak juga menemukan notifikasi balasan dari gadis itu, ia mulai berpikir, sekecewa itukah dia sampai membalas pesannya pun enggan?
Jayden bukanlah lelaki yang mudah mengambil keputusan. Dan untuk saat ini orang yang sangat ia percaya untuk ia mintai pendapatnya adalah--siapa lagi kalau bukan--Zaki.
Dia marah, Zack.
Dia gak balas
SMS gue.
Gue harus gimana?Zack:
Elah. Gitu aja pusing.
Cegat aja langsung.
Kalau perlu
samperin rumahnya.Karena itulah kini Jayden berada di taman balai kota, di bangku yang selama beberapa hari belakangan ini menjadi tempat pertemuannya dengan Rania. Ia bahkan sengaja berangkat lebih pagi demi bisa bertemu dengan gadis itu. Namun hingga kain kemejanya menyatu dengan kulit karena direkat keringat, orang yang ia tunggu belum juga terlihat.
'Kalau perlu samperin rumahnya', begitu tulis Zaki di chat tadi, sesuatu yang sangat tidak ingin Jayden lakukan. Namun kelihatannya saat ini ia tak punya pilihan.
Seperti kemarin, ia berjalan kaki menuju kawasan Braga, meskipun peluh sudah membuat tubuhnya seperti terendam. Saputangan di sakunya pun, ia yakini, tak akan berguna menyeka keringatnya yang mengalir tanpa henti. Ia bahkan tak memanfaatkan mobilnya yang ber-AC, walaupun di pagi hari sepanjang Jalan Braga masih banyak menyediakan lahan parkir. Hanya saja mengendarai mobil ke sana harus mengambil jalan memutar yang cukup jauh.
Tekadnya memberi penjelasan pada Rania sudah bulat. Apa pun yang terjadi, ia akan terus maju. Namun beberapa langkah sebelum berbelok ke mulut gang, ia merasa dadanya bergemuruh hebat. Saluran pernapasannya seperti terjepit. Sesak. Keringat dingin pun seolah sedang membuat lapisan kulit kedua di sekujur tubuhnya. Ia tahu, serangannya sudah dimulai.
*
Meskipun pagi itu Rania menunjukkan raut ceria seperti biasa, Dyah tahu, putrinya hanya berpura-pura. Netra gadis itu tak bisa berbohong. Apalagi ketika ia pamit hendak ke sungai, bukan ke taman balai kota seperti biasa. Ia sudah hafal kebiasaan putrinya yang selalu mengunjungi bantaran sungai bila hendak menenangkan diri, bukan curhat pada ibunya seperti gadis-gadis lain. Namun Dyah tak pernah mempermasalahkannya. Dibiarkannya putrinya menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Mungkin itu lebih baik untuknya, karena mungkin mendapat pengaruh dari orang lain akan semakin memperkeruh masalah. Lagi pula Dyah yakin, gadis itu pasti sudah menyesali pertemuannya dengan pemuda keren kemarin.
Wanita itu meneruskan menyapu lantai semen di depan warung begitu sosok Rania lenyap dari pandangan, menjauhkan dedaunan kering yang tersasar terbawa angin dari halaman tetangga. Warungnya akan ia operasikan sebentar lagi dan ia tak ingin bangunan ini meyambut pelanggannya dalam keadaan kotor.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Pictures of the Imperfections
Romance[Romance] Mengidap OCD sejak sekolah menengah, Jayden benci bila nasi di piringnya bercampur dengan sayur. la benci bila pakaian di lemarinya tidak tersusun sesuai warna. la benci bila piring-piring di raknya tidak terurut dari yang berukuran kecil...