25. aneh

238 31 0
                                    

"Justru yang gampang nyakitin itu paling gampang disakitin,"
--Alin--
.
.
.
.
.


Alin mengeringkan rambutnya dengan handuk mini berwarna biru muda itu. Langkahnya terhenti saat sampai di meja rias.

Ia duduk disana sambil menatap dirinya sendiri di cermin. Kembali mengingat kejadian kemarin. Tubuhnya kembali merinding mengingat gumpalan darah Bia yang ada di toilet.

Oh iya, memikirkan tentang Bia, Alin jadi ingat sesuatu. Kertas yang Bia kasih belum ia cek.

Alin kembali berdiri dari duduknya. Meletakkan handuk mini nya di atas kasur dan mencari kertas itu di lemari bajunya. Helaan nafas terdengar dari bibir Alin ketika gadis itu menemukan apa yang ia cari.

"Untung aja gak ilang."

Bokongnya kini duduk diatas kasur. Kedua tangannya sibuk membuka kertas lusuh itu. Matanya menyipit ketika melihat tulisan yang ada di kertas yang sedang ia pegang.

"Bukan target?"




•••••




"Tambahin jam belajar di sekolah sampe jam lima sore. Biarin mereka ikut ekstrakurikuler sampe jam tujum malem, kalo perlu bikin semua ekstrakurikuler jadi ada tiap hari," ucap Rayn enteng.

"Gila lo?! Semua siswa pasti nolak lah! Jangankan siswa, orang tua mereka juga pasti ngomel!" balas Alvian tidak setuju.

"Tapi kalo kita gak bertindak begini, makin lama juga masalahnya selesai. Lo inget kan? Kita udah janji sama pihak kepolisian buat nyelesain masalah ini secepatnya. Kalo sampe masalahnya gak selesai sampe tiga bulan ke depan, Papi bisa aja langsung ditangkep," ucap Rayn panjang lebar.

Alvian menghela nafas. Begitu pula Nila yang ada di sebelahnya. Sedangkan Deka sedari tadi masih tetap diam saja sambil menghabiskan potongan steak kesukaannya.

Mereka kini berada di salah satu restoran steak dekat rumah. Menghabiskan makan malam sambil terus membicarakan masalah di sekolah mereka.

"Gue dipanggil kesini tanda masalah ini gak ada jalan keluar. Dan Papi udah percaya sama gue buat bantuin bikin masalah ini selesai. Jadi apa susahnya sih nurut sama usul gue?"

Alvian terdiam, kemudian mendesah ringan. "Oke. Gue dukung apapun keputusan lo."

Nila mengangguk, ikut setuju dengan Alvian. Sebagai satu-satunya perempuan yang ikut andil, Nila tidak banyak tahu harus apa. Dia juga belum pernah bertatapan langsung dengan pelaku seperti Alvian.

"Oke. Kalo gitu, besok Papi suruh petugas tata usaha buat bikin surat pertemuan orang tua murid. Nanti Papi sama Rayn ngomong ke orang tua murid buat perubahan jadwal belajar."

Deka hanya mengangguk. Mulutnya sibuk mengunyah daging, sementara tangannya sibuk memotong potongan yang akan dia makan selanjutnya.

"Gak minta persetujuan Pak Basri dulu?" tanya Alvian. Guru itu kan wakil Papinya, kurang enak rasanya kalau tidak memberi tahu pria itu lebih dahulu.

"Enggak," jawab Rayn singkat. Matanya menatap daging matang dihadapannya dengan lekat. "Sikap tenangnya dia bikin gue ragu. Ragu kalo dia enggak ada hubungannya sama masalah yang satu ini."

"Terserah ajalah. Gu--,"

"Alin?" Suara Nila langsung membuat Alvian berhenti bicara. Ia menatap Nila dengan keheranan kemudian mengikuti arah pandang gadis itu. "Itu.. Alin?"

Alvian menyipitkan matanya mulai menatap ke arah pojok ruangan yang berisi satu meja dengan dua kursi.

Itu Alin. Memang Alin. Tapi kenapa dia ada disini?

She is HandsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang