42. laboratorium biologi

60 14 0
                                    

"masalah. Sebuah kata yang nampak ringan, namun sulit untuk diselesaikan."
.
.
.
.
.



"Dihh... Katanya demen sama gue. Chat aja gak di read." Alin berdecih. Ia melihat sekali lagi pesannya yang belum dibaca oleh Alvian sejak pagi. Sebenarnya apa sih urusan laki-laki itu? Padahal biasanya Alvian selalu menempel padanya sambil mengajaknya ngemil.

"Mau makan apa nih guys, hari ini?" tanya Fanny sambil mengeluarkan dompet dari dalam tas.

"Gue gak ikut ke kantin ya. Belum laper," jawab Alin. Dia kan mau mencoba rencananya lagi. Jadi sekarang dia tidak boleh ikut ke kantin dulu.

"Tumben? Lagi gak enak badan?" Julian bertanya saat dirinya sampai disebelah Alin. Gadis dengan kuncir kuda itu menggelengkan kepalanya. Berusaha terlihat sangat sehat, padahal ia sedang dalam mood kurang bagus.

"Gue masih kenyang. Lagian tadi pagi kan gue sarapan banyak dari lo. Jadi perut gue masih penuh. Gue di kelas aja."

"Oke." Julian mengangguk. Sebelah tangannya terangkat mengusap kepala Alin. "Gue istirahat dulu sama yang lain. Mau gue beliin camilan?"

"Mau Oreo sama kentang goreng boleh?"

"Airnya?"

"Air gue masih ada."

"Ya udah. Jangan kemana-mana tanpa laporan ke gue. Inget, sekolah lagi kurang aman, jadi jangan aneh-aneh di sekolah."

"Iya."

Selepas semua teman-temannya pergi dari kelas, Alin langsung membuka ranselnya. Mengeluarkan pistol mainannya lalu ia lilitkan benda itu di paha dalam roknya dengan sebuah tali sepanjang 0,5 meter.

Gadis itu juga mengeluarkan senter mini berwarna pink kesayangannya dan menyimpannya di dalam saku rok. Setelah semua barang yang dibutuhkan sudah ia simpan, ia langsung keluar dari kelas dengan terburu-buru.

Sebelum lo ngelakuin rencana yang satu ini, jangan lupa buat turunin listrik. Lo punya waktu kurang lebih lima belas menit buat ke ruang laboratorium biologi sebelum petugas sekolah nyalain listriknya lagi.

Langkah gadis itu mengarah ke parkiran depan. Sesekali ia tersenyum ramah pada beberapa siswa yang menyapanya. Ucapan Alvian juga masih terngiang-ngiang di kepalanya sepanjang perjalanan.

Jangan lupa rusakin cctv di sana. Biar kalo listriknya nyala, lo gak bakal ketahuan lewat cctv.

Kalo ada apa-apa, langsung telfon gue. 

"Huhh..." Alin membuang nafasnya teratur. Begitu sampai ditempat yang dituju, wajahnya langsung berubah tegang. Dia takut ketahuan. Tapi kalau tidak nekat, yang ada Alin bisa susah tidur nanti malam. "Semoga gak ada yang tau deh..."

Setelah mengotak-atik beberapa penutup aliran listrik, akhirnya sesuatu yang ia cari bisa ditemukan. Dan...

Tut...

Listrik mati. Lampu beserta cctv disana juga mati. Seluruh penerangan di setiap ruangan yang ada di gedung besar itu satu persatu mati tanpa ada tanda-tanda.

Alvian yang tengah sibuk membaca data di laptop sambil memakan bakso pun ikut terkejut. Sampai-sampai bakso yang harusnya masuk ke dalam mulut, malah mendarat di hidung, lalu menggelinding turun ke bawah dan hilang entah kemana.

"Udah dimatiin listriknya?" gumamnya sambil melihat sekeliling yang nampak redup karena terlihat sangat gelap. Cahaya yang ada hanya bersumber dari sinar matahari dan layar laptopnya.  "Kenapa gak nelfon dulu sih?! Kasih kabar gitu. Jadi di ghosting sama bakso kan gue. Mana bakso urat satu-satunya lagi," gerutu Alvian.



She is HandsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang