22. Pemberani

428 48 25
                                    

"Apapun yang Tuhan kasih buat lo, belum tentu bakalan jadi milik lo selamanya."
--Daffa--
.
.
.
.
.


Alin itu pemberani.

Sejak kecil, dia memang terbiasa melawan siapapun, nyerocos kepada siapapun, juga berteriak pada siapa saja.

Alin itu terlahir paling beda diantara semua saudaranya. Menjadi anak pertama, keponakan pertama, cucu pertama sekaligus putri pertama kedua orangtua nya, Alin jadi terbiasa melakukan apapun sendiri.

Meskipun akhirnya dia juga luka sendiri.

Di dalam hidupnya, Alin hanya takut pada tiga hal. Allah, dirinya sendiri dan... darah.

Sejak kejadian Julian tertabrak saat menolongnya waktu mereka SD, Alin jadi tidak terbiasa dengan darah. Tubuhnya selalu bergetar dengan nafas yang tidak teratur kalau melihat darah.

Bayang-bayang Julian kesakitan dengan banyak darah, selalu menghantui Alin saat ia tidak sengaja melihat cairan kental berwana merah pekat itu.

Tidak punya phobia darah, Alin hanya takut saja.

"Masih gemetar ternyata," gumam Alvian. Dia baru saja keluar dari salah satu ruangan di rumah sakit itu dan langsung menghampiri Alin yang masih duduk diam di depan UGD.

Alin hanya diam saja sambil menatap kebawah. Tepatnya ke sepatu Adidas miliknya yang sangat terlihat kotor. Padahal sepatu itu dia beli seminggu yang lalu.

Masih ingat Alin saat menawar sepatu itu di toko yang sering di datangi Sayang. Susah payah bernego, sepatunya malah terlihat seperti sepatu rusak sekarang.

Tubuhnya masih gemetaran, nafasnya juga masih belum terasa normal. Apalagi detak jantungnya.

Alvian mengusap kepala Alin dengan lembut. Lalu berlutut dihadapan gadis yang masih tetap duduk terdiam itu.

"Kenapa?" tanyanya yang sudah pasti tidak akan dijawab oleh Alin. Matanya kemudian menatap kedua tangan Alin yang masih bergetar kecil.

Meraih tangan Alin, lalu ia usap dengan lembut sampai tangan itu berhenti bergetar. "Sekali lagi. Lo hebat."

"Hebat karena bisa nahan semuanya. Hebat karena bisa ngelawan ketakutan lo." Alin tetap terdiam. Namun matanya perlahan mulai berkaca-kaca.

Tangannya yang terlihat banyak bekas darah yang telah mengering itu kembali diusap oleh Alvian. "Jangan kebanyakan nunduk, entar leher lo pegel."

Alin tetap saja diam. Perlahan, air matanya menetes tanpa mengalir karena kepalanya terlalu menunduk. Tetesan itu jatuh tepat diatas tangan Alvian yang baru saja di perban oleh dokter.

"Gue takut..." Alin menggigit bibirnya sendiri agar tidak mengeluarkan isakan menyebalkan yang tidak pernah dia sukai. "Gue kira... gue gak bakal ngeliat itu lagi..."

Itu yang dimaksud oleh Alin adalah darah dalam gumpalan yang sangat banyak.

"Terus... Lo..." ucapan Alin berhenti. Tergantikan dengan isakan kecil yang keluar dari bibirnya karena tidak sengaja melihat penampilan Alvian yang terbilang mengenaskan.

Bukannya dirinya yang terlihat jadi korban, Alvian justru lebih pantas menyandang status itu. Penampilannya mengerikan. Mampu membuat Alin menangis karena kasihan.

Mereka masih memakai seragam sekolah. Namun penampilan mereka lebih menunjukkan seperti gembel daripada seorang pelajar SMA.

"Hii... Kenapa nangis?" Alin menggeleng. Kedua tangannya menutup wajahnya dengan rapat. Alvian benar-benar membuatnya kasihan bukan main. "Ada yang sakit? Yang luka? Yang lecet?"

She is HandsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang