Us : 17

1.6K 254 72
                                    

Prima jalan mengekori, di depannya ada sepasang suami-istri yang mengendong bayi, dan di paling depannya lagi, ada dua orang sedang beradu argumen, berkelahi kata-kata, saling menyalahi.

Berjalan di paling belakang, Prima hanya menunduk, sesekali ia lihat telapak tangannya yang penuh goresan luka bekas jatuh di aspal tadi. Handphonenya tidak berhenti bergetar, Prima yakin itu Wahyu, atau mungkin temannya yang lain yang mencari dimana Prima sekarang. Prima tidak mau menjawab, Prima tidak bisa menjawab.

Telinganya hanya penuh dengan suara dua orang laki-laki ini. Saling melempar kesalahan atas kecelakaan hari ini.

Dada Prima sesak, sakit bukan main. Ia sama sekali tidak dipertemukan dengan Elang, malah dioper sana-sini, ikut sana, ikut sini. Prima diminta bersabar sedikit lagi. Prima menurut, ia sabar, asal nanti benar dipertemukan dengan Elang.

"Halo?"

"Kakak?"

"Iya Bun?" suaranya pelan hampir hilang.

"Kakak gak papa? Kok Bunda kepikiran Kakak terus ya?"

"Ima gak papa Bun. Kepikiran gimana?"

"Ya inget Kakak terus. Bener gak papa?"

"Ima gak papa. Bunda kangen mungkin." Prima terkekeh, ia tau itu kekehan paling hambar, paling banyak tipuan. "Minggu depan kalo gak ada apa-apa nanti Ima pulang."

"Oke. Kalo ada apa-apa langsung telpon Bunda ya Kak."

"Iya Bun."

"Jangan lupa makan. Udah belum?"

"Udah. Tadi abis bakar-bakaran sama Wahyu kok. Bunda masak apa?"

Sebenarnya telponnya ingin Prima sudahi, tapi tidak bisa. Di satu sisi, Prima tidak ingin menipu ibunya lebih jauh, di sisi lain, Prima butuh seseorang yang menjadi pegangan Prima saat ini.

Kalau bisa Prima telpon Galvin dan Faisal untuk menemani Prima, atau bahkan Wahyu, Fahmi, Kamal, siapapun yang bisa menemani Prima dan buat Prima lupa untuk apa ia berdiri disana. Berjalan sendirian tanpa teman. Bahkan Prima tidak pernah dapat izin secara gamblang untuk menemui kekasihnya sendiri.

Prima ingin menelpon Elang, mengadu sejadi-jadinya, menagih semua penjelasan dari Elang. Tapi tidak bisa. Payahnya, Prima hanya bisa diam, saat sadar handphone Elang, orang lain yang pegang.

Bukan Aryo, kalau itu Aryo sudah Prima minta sejak tadi. Bukan juga pada sepasang suami-istri ini. Tapi pada pria, yang mengharapkan Prima pergi, menjauhi Elang, karena ia pria pertama yang dimiliki Elang.

Tidak tau lagi bagaimana Prima harus mendefinisikan perasaannya. Bertemu dengan Nadhil, mantan Elang, yang melirik Prim pun enggan.

"Prima?"

Ditegakan cepat kepala Prima, empat pasang mata memandangi Prima sekaligus. "Y-ya?"

"Kamar Elang disini, mau masuk?"

Tentu mau!

"Kok dia sih?"

"Nad-"

"Gue yang nunggu Elang dari tadi. Gue yang nganter Elang ke sini, terus gue harus ngalah sama anak kecil ini?"

"Nad! Apaan sih?! Dibanding lo, Elang lebih butuh Prima! Lagian lo bukan siapa-siapa Elang. Dan lo gak nganter Elang sendiri kesini! Gue, Mika, Lusi, kita yang bawa Elang kesini. Gak usah drama!"

"H-hah?!"

"Prima, sini."

Prima menunduk kaku, tidak ada keberanian sedikit pun untuk melirik Nadhil yang sedang misuh di samping pintu kamar Elang.

Recalling Us (BL 18+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang