Langit kian menggelap, bahkan teras rumah kontrak dari keluarga kecil Sekala sudah dipencet saklarnya. Menyala, menandakan bahwa dirumah tersebut ada penghuni.
Malam ini, mereka makan malam dengan menu yang sedikit spesial. Nasi goreng dengan telur mata sapi. Bagi Saga, ini surga. Ia merasa bahwa Sega lah yang memasaknya. Ah, dia jadi merindukan sosok laki-laki yang pernah ia jadikan bahan senderan.
"Masakan tante enak banget," puji Jibran disela mengunyah nasi goreng.
Mina tertawa kecil, salah tingkah yang bahkan ia nyaris tersedak air putih, "aduh, nak. Jangan gitu. Salting tante tuh!" elak Mina.
"Rasanya persis kaya nasi goreng buatan Bang Sega. Dulu Bang Sega, tuh, resepnya dari mama?" sela Saga bertanya.
Mina menggeleng, "justru mama masak ini, resep dari Sega sendiri," ujar Mina, "waktu lagi beresin baju Abang kamu, tuh, mama dapet kaya kotak terus isinya ada kaya buku kecil yang judulnya 'Resep Masakan Ega' gitu," lanjut Mina kemudian.
Saya mengangguk, "tiap pagi untuk sarapan, bikin nasgor terus, ya, ma. Tanpa telur juga gak apa-apa. Soalnya dulu, pas masih bareng Bang Sega, tiap pagi sebelum Sekolah, dia suka bikinin nasgor buat aku!" pinta Saga dengan antusias.
"Boleh!" Mina menerimanya.
•••
Pagi ini Saga akan bekerja di Cafe, bersamaan dengan Liza. Mereka menjadi barista, berdua. Kebetulan, Cafe yang terletak tak jauh dari pesisir pantai itu baru saja buka. Jam masih menunjukkan pukul 06.01, dimana jalan raya pun belum terlalu ramai. Saga dan Liza merasakan angin dipagi hari, melihat ombak yang saling bertabrakan, dibelakang Cafe, seraya membersihkan kanebo yang baru saja mereka pakai untuk bersih-bersih.
"Dingin, Liz. Ayo masuk buruan!" ajak Saga.
"Lah, kan, didalem juga ada AC, Saga. Jadi tetep dingin!" balas Liza, diiringi dengan tawa kecil.
"Dingin angin luar sama dingin AC beda, ya!" elak Saga, masuk kedalam terlebih dahulu, meninggalkan Liza.
"Buru-buru banget! Cafe buka jam tujuh pagi, Sagara!" teriak Liza ke arah dalam. Namun nampaknya, Saga tak acuh dan pura-pura tak mendengar suara Liza.
Liza turut masuk, melihat Saga yang tengah memakai apron berwarna coklat. Hidungnya nampak sedikit merah, mungkin karena keadaan pagi di Bandung sangat dingin. Liza tak sadar bahwa ia memancarkan senyuman, menatap tampannya Saga yang kesusahan memakai apron-nya.
"Liz, bantu taliin ininya. Susah," pinta Saga, memecahkan senyum alami Liza.
"Eh, iya, Saga. Sebentar!" Liza bersahut, berlari kecil menghampiri Saga untuk ia bantu.
•••
Jesia membuka matanya, menatap tempat yang amat asing baginya. Padang rumput, kincir angin raksasa, seperti nuansa pedesaan, namun nampaknya seperti surga karena semua ada dan lengkap.
"Aduh, aku dimana, aku udah mati kah?" gumam Jesia seraya memegang keningnya yang kebetulan masih terpasang perban.
"Jesia?! Halo, Jesia!" Suara orang dari belakang, membuat Jesia terkejut. Jesia lantas berdiri, menatap orang yang baru saja membuatnya terkejut itu.
"L–loh. Saga sayang?!" Jesia menatap laki-laki didepannya yang memakai setelan hitam putih.
"Sayang? Ih, kok kamu mau sama Saga?" Orang itu mengelak.
"Aku Sega, Jesia. Kita bertemu, karena kamu lagi ada di alam bawah sadar kamu. Ini juga pertanda kalau kamu gak lama lagi bakal sadar dari koma kamu," tuntun Sega menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga dan Dirinya | PARK SUNGHOON
أدب الهواةPARK SUNGHOON :: LOKAL AU SEQUEL SEGA DAN SAGA (Slow Update) Setelah kisahnya dengan Sega berakhir, kini dimulailah kisahnya bersama Jesia dan circlenya. Yang menyangkut tentang dunia relationship, friendship, dan family.