Jangan lupa votement!
Keesokan sorenya, Jibril baru pulang usai dari rumah Raline. Suasana rumah sepi, entah di mana istrinya berada. Jibril melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Jelilah juga tidak ada di sana. Jibril mengernyit heran, di mana perempuan itu?
Dari kamar, Jibril bergegas ke rooftop, namun Jelilah juga tidak berada di sana. Ia mendengus, kembali melangkahkan kakinya menuju teras belakang, barangkali istrinya ada di sana.
Jibril bernapas lega karena melihat Jelilah yang sedang menyiram taman mininya. Saat menoleh dan melihat keberadaan suaminya, Jelilah menghentikan kegiatannya menyiram tanaman, bergegas mencuci tangan dan menghampiri Jibril, menyalami tangan suaminya itu. Berlapang dada dan sudah memaafkan kesalahan Jibril kemarin sore.
"Sudah makan?" tanya Jelilah dan suaminya menggeleng. "Tadi siang, saya membuat rendang, kata mama kamu suka itu," lanjutnya berjalan mendahului Jibril.
Jibril menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal, mengira bahwa perempuan itu masih marah karena kemarin tidak jadi jalan-jalan. Namun, sekarang malah bersikap seperti biasanya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang kesal atau marah.
Makanan sudah tersedia di atas meja, bahkan piring Jibril juga sudah terisi nasi dan lauk.
"Kamu tidak marah?" tanya Jibril tiba-tiba.
"Marah karena apa?" tanya Jelilah balik.
"Kemarin... karena kita tidak jadi jalan-jalan," ujar Jibril.
Jelilah diam, menyuap makanan ke mulut. Sedangkan Jibril masih menunggu jawaban.
"Tidak ada gunanya juga saya marah-marah," jawab Jelilah kemudian.
"Saya tahu kamu cemburu," sahut Jibril.
Menatap mata suaminya. "Cemburu atau tidak, memangnya kamu peduli? Tidak, kan?"
Jibril menghela napas berat. "Nanti malam ayo jalan-jalan, makan di luar," ajaknya.
"Tidak usah, masakan saya masih cukup untuk makan malam nanti," tolak Jelilah.
"Sebagai tebusan janji saya kemarin--"
"Sebagai tebusan janjimu kemarin," sela Jelilah. "Tidak usah jalan-jalan, cukup di rumah saja bersama saya sampai nanti malam, jangan ke mana-mana."
Jibril mendengus pelan lalu mengangguk. "Baiklah."
Sesuai janji, Jibril mengosongkan waktunya untuk Jelilah. Rasanya seperti suasana baru, melihat aktifitas Jelilah di rumah, mulai dari bersih-bersih di sore hari, memasak untuk makan malam, membersihkan kamar, sampai menyiram tanaman. Biasanya Jibril tidak berada di rumah pada saat itu, ia selalu pulang larut malam saat istrinya sudah terlelap atau tidak pulang sama sekali.
Jelilah menghela napas lega, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Saatnya ia mandi karena tubuhnya terasa lengket usai beraktifitas. Sedang asik mandi, Jelilah baru sadar kalau dirinya lupa membawa baju ganti ke kamar mandi. Baju kotornya sudah terlanjur basah dan hanya ada handuk.
Malu-malu, Jelilah keluar dengan handuk yang melilit tubuhnya. Jibril yang sedang duduk di tempat tidur segera menoleh saat pintu kamar mandi terbuka. Mematung beberapa detik, menatap perempuan yang hanya berbalut handuk tersebut.
"MasyaaAllah...," gumam Jibril pelan.
Jelilah membuka pintu lemari, mencari pakaiannya, mengabaikan suaminya yang masih menatap dirinya. Setelah mengambil pakaian ganti, Jelilah buru-buru kembali ke kamar mandi, malu karena Jibril sudah melihat lima puluh persen auratnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Jelilah ✓
Fanfiction(Xinlaire series 2) Tentang Jibril yang dijodohkan dengan wanita bercadar bernama Jelilah. Walaupun sudah menikah, perasannya tidak berubah dan tetap mencintai mantan pacarnya, Raline. "Dilihat dari manapun, kamu memang lebih cantik dari Raline, tap...