Tiga belas

3.4K 545 254
                                    

Halooo, update lagi nih!
Jangan lupa votement yaaa!














Tiga bulan berlalu, Jibril sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan. Perusahaan yang dikelolanya mengalami penurunan. Semenjak Jack mencabut sahamnya dari perusahaan industri tersebut, Jibril menjadi kewalahan mengelolanya sendirian. Karena sebagian besar dana berasal dari saham milik ayahnya. Jibril jadi workaholic dan sangat jarang pulang ke rumah.

Sedangkan Raline, yang katanya tengah hamil muda masih aktif bekerja sebagai sekretaris pribadi Jibril. Ia baru saja mengalami mual-mual kemarin sore dan meyakini bahwa dirinya hamil.

Lima bulan sudah mereka berdua menyembunyikan tentang pernikahan mereka dari orang tua Raline, Yasha dan Wilan. Kedua orang tuanya itu sama sekali belum mengetahui bahwa anak mereka telah pindah keyakinan dan menikah.

Jibril mengusap wajahnya kasar, akhirnya pekerjaannya selesai. Ia pun segera bergegas, hendak pulang ke rumah untuk beristirahat.

Beberapa saat kemudian, Jibril sudah tiba di rumahnya. Namun, bukannya lega, ia malah tambah stres melihat keadaan rumah yang berantakan seperti tidak berpenghuni. Bungkus-bungkus makanan berserakan di lantai ruang tamu, cucian menumpuk di samping mesin cuci. Wadah-wadah masakan dibiarkan sampai bertumpuk di wastafel. Selama Jibril tidak pulang ke rumah, tidak ada yang membersihkan rumah. Bi Mina sudah pindah sejak sebulan yang lalu karena keuangan Jibril yang mulai menipis akibat turunnya keuangan perusahaan.

"Raline!" panggil Jibril dari ruang tamu. "RALINE!!" serunya lagi.

"Iya! Ada apa?!" Raline keluar dari kamar dan menuruni tangga. "Kenapa berteriak?"

"Lihat seisi rumah ini, berantakan! Seharusnya kamu bersih-bersih!" ujar Jibril.

"Bersih-bersih rumah? Aku bukan pembantu, kenapa harus bersih-bersih rumah?!" tanya Raline kesal.

"Kamu lupa kalau bi Mina sudah tidak bekerja di sini?"

"Itu bukan urusanku, aku tidak ingin bersih-bersih! Lagipula aku sedang hamil, tidak boleh kerja berat!" ujar Raline ketus, hendak beranjak pergi.

Namun, Jibril langsung menarik lengannya. "Setidaknya bersihkan sampahmu sendiri!" ujarnya.

Raline mendengus kasar, menepis kasar tangan Jibril lalu beranjak memunguti bungkus-bungkus makanan yang berserak di lantai dekat sofa dengan wajah kesalnya.

"Andai Jelilah di sini, pemandangan seperti ini pasti tidak akan ada," gumam Jibril. Tidak habis pikir dengan sikap Raline yang ternyata sangat pemalas. Berbeda saat ia masih bersama Jelilah, keadaan rumah pasti selalu bersih dan rapi.

Menghempaskan tubuhnya di kasur disusul helaan napas kasar. Tiba-tiba ia merindukan istri pertamanya itu. Jibril mengecek ponsel, melihat chat terakhirnya dengan Jelilah. Ia mendengus pelan, Jelilah masih memblokir nomornya.  Tidak kehabisan akal, Jibril mencoba menghubungi Jelilah melalui atstagram. Setelah dua kali mencoba dan gagal, Jibril mencoba lagi untuk yang ketiga kalinya.

Beberapa saat kemudian, panggilan vidio tersambung. Jibril dapat melihat wajah Jelilah melalui layar ponsel. Jelilah tidak memakai cadar dan sedang menggendong Aji. Tubuhnya tertutup selimut tipis. Jibril agak pangling melihat istrinya itu. Jelilah tampak cantik, masih sama seperti dulu. Berat badannya juga sudah turun, tidak terlalu gemuk seperti saat hamil.

"Assalamualaikum," salam Jibril.

"Waalaikumsalam."

"Apa kabar?" tanya Jibril berbasa-basi.

"To the point saja, saya sibuk."

"Saya hanya ingin melihatmu dan Aji sebentar," kata Jibril.

"Kalau tidak ada kepentingan, saya akan matikan panggilan vidionya."

Air Mata Jelilah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang