Lima belas

3.1K 519 187
                                    

Update lagiii~~~

Jangan lupa ramaikan votement!!









Lima bulan kemudian, ke sekian kalinya Jibril mendatangi rumah sakit jiwa untuk menjenguk Raline. Kondisi istrinya itu sangat memprihatikan, setiap hari Raline hanya melamun atau menangis. Jibril mendekati Raline, mengusap kepala yang tak lagi memakai hijab karena kewarasannya sudah tidak ada.

"Anakku...," gumam Raline.

"Sayang," panggil Jibril.

"Anakku... anakku di mana...?" tanya Raline dengan tatapan mata yang kosong.

Jibril menghela napas berat lalu menangkup pipi Raline. "Anak kita tidak ada, Raline, sadarlah...."

Raline mendelik marah, menatap tajam pada suaminya. "Anakku ada! Ada!" teriaknya histeris.

"Sayang--"

"Anakku ada! Aku punya anak!" seru Raline lagi sambil berusaha menyerang suaminya sendiri. Karena kegaduhan yang dibuatnya, beberapa perawat rumah sakit datang, memegangi Raline lalu menyuntikkan obat penenang. Beberapa saat kemudian, Raline langsung tertidur karena pengaruh obat tersebut.

Jibril menatapnya frustrasi, prihatin melihat kondisi istrinya yang semakin hari semakin memburuk. Raline sudah tidak mengenali suaminya lagi. Tubuhnya semakin kurus, tulang pipinya terlihat sangat menonjol, kelopak dan area bawah matanya menghitam karena jarang tidur dan sering menangis.

Dikecupnya kening istrinya lama, disusul air mata yang lolos begitu saja dari matanya. Menangis sembari mengusap kepala Raline yang tertidur. "Hanya kamu satu-satunya orang yang ku punya, Raline... keluarga kita sudah tidak ada yang peduli, bahkan jika kita berdua mati, aku yakin mereka tetap tidak akan peduli. Ku mohon... bertahanlah, aku akan berjuang demi kesembuhanmu," ujar Jibril.

Lalu dengan berat hati, Jibril pulang dari rumah sakit. Ia harus kembali bekerja keras demi kesembuhan istrinya. Jibril sudah tidak peduli lagi dengan kesehatannya. Makan dan tidur tidak teratur, Jibril benar-benar seperti mayat hidup yang hanya memikirkan bagaimana caranya agar mendapat uang banyak untuk kesembuhan Raline.

Kembali berjualan parfum menggunakan motor. Satu-satunya kendaraan yang ia punya saat ini. Mobil, rumah, semuanya sudah ia jual demi membayar rumah sakit. Sekarang, Jibril hanya menumpang hidup di rumah kecil milik Theo. Mantan managernya yang baik hati itu sudi berbagi tempat tinggal dengannya, mengingat dulu Jibril adalah orang yang paling banyak membantu dirinya.

"Bos, lihat!" Theo memperlihatkan layar ponselnya. "Produk kita laku di pasar online!"

"Alhamdulillah," sahut Jibril biasa saja.

"Ada sekitar lima puluh orang yang memesan, kita harus segera packing parfumnya dan mengatur pengiriman," lanjut Theo bersemangat.

"Tapi, uang--"

"Tenang saja, Bos! Uang tabungan saya masih ada, lebih dari cukup untuk membeli bahan-bahan package," ujar Theo.

Jibril menggeleng. "Jangan, Theo... itu uang pribadimu."

"Ini tidak gratis, Bos harus menggantinya kalau Bos sudah berjaya lagi nanti. Sekarang kita harus membeli bahan-bahan package untuk produk kita, ayo, Bos!" ajak Theo.

Jibril menepuk bahu Theo. "Terima kasih karena tidak meninggalkan saya, Theo." ujarnya.

Theo tersenyum. "Sama-sama, Bos."

####

Jibril mendapat undangan pertemuan untuk para CEO, ia berpikir mungkin si pengirim undangan belum mengetahui bahwa perusahaan milik Jibril sudah lama bangkrut. Jibril menggenggam kertas itu. "Aku akan datang, sekalian mempromosikan produkku," monolognya.

Air Mata Jelilah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang