Sembilan

2.8K 498 160
                                    

Update, jangan lupa votement!

Yang rame biar aku semangat....










Tanpa pikir panjang, Jelilah segera bergegas. Ingin memastikan sendiri bahwasanya orang tuanya benar-benar menjadi korban pesawat jatuh atau tidak.

Beberapa saat kemudian, sampailah ia di rumah sakit Pemuda 02. Suasana di sana memang sangat ramai, saat menapaki koridor rumah sakit, Jelilah dapat melihat orang-orang yang sedang berduka, isak tangis mereka terdengar begitu pilu, membuat Jelilah semakin takut.

Setelah menanyakan data orang tuanya pada resepsionis, Jelilah diberikan beberapa barang bukti yang terbungkus dalam plastik bening, berupa jaket yang telah rusak dan tas wanita. Dengan tangan gemetar, ia membuka plastik itu dan memeriksa isi tas yang agak hangus luarannya.

Napas Jelilah tercekat beberapa detik saat melihat kedua pasport serta dompet dalam tas itu. Masih tampak jelas foto dengan nama 'Jillian sahara' dan 'Liam wong' tertera dalam dua pasport tersebut.

"Silakan ikut kami, Bu," ajak salah satu perawat pria.

Jelilah mengikutinya, tangannya memeluk erat barang milik ibunya itu. Dirinya dituntun menuju kamar jenazah. Tangis Jelilah langsung pecah saat kain penutup jenazah dibuka, kondisi ibunya sangat mengenaskan, hampir tidak dapat dikenali karena luka bakar yang begitu parah.

"B-Bunda...," gumam Jelilah lirih. Ia menatap perawat yang mengantarnya. "A-Ayah... ayah saya bagaimana?"

"Korban atas nama Liam wong sampai saat ini belum ditemukan. Tim SAR hanya menemukan pasport korban bersama dengan barang bukti milik ibu anda," papar Perawat itu.

Jelilah duduk di kursi depan kamar jenazah, meraih ponsel dan berusaha menghubungi suaminya. Saat telepon terhubung, Jelilah kembali terisak.

"Jelilah? Kamu menangis? Ada apa?" tanya Jibril dari seberang telepon.

"Bunda... hiks...."

"Bunda kenapa?"

"Bunda saya sudah tiada... hiks... bunda meninggal," ujar Jelilah sambil terisak.

"Jangan bercanda, saya ada meeting sebentar lagi!"

"Saya tidak... hiks... bercanda... hiks...," tangis Jelilah semakin menjadi-jadi. "Tolong... ke rumah sakit Pemuda 02 sekarang, kamar jenazah... saya butuh kamu...." Jelilah langsung mematikan telepon, tangisnya membuat dadanya terasa sangat sesak.

Sedangkan Jibril masih termangu di ruangannya. Ia mengusap wajahnya kasar dan langsung bergegas keluar.

Melihat Jibril bergegas dengan langkah terburu-buru, Raline langsung menghampiri. "Mau kemana? Lima menit lagi meeting akan dimulai," ujarnya.

"Handle dulu, saya harus pergi sekarang." Jibril hendak berlalu, namun, Raline tetap menghalangi.

"Tidak biasanya kamu meninggalkan pekerjaan, ada apa?" tanya Raline.

"Jelilah butuh saya," jawab Jibril lalu bergegas, setengah berlari menuju lift. Meninggalkan Raline yang masih berdiri di tempat dengan raut wajah tidak mengenakkan.

Jibril segera melajukan mobilnya, terpikirkan tentang istrinya yang barusan menelepon sambil terisak. Jibril menginjak pedal gas, mengendarai mobil secepat kilat agar segera tiba di rumah sakit.

Setelah sepuluh menit mengebut, akhirnya ia sampai di rumah sakit yang dimaksud. Jibril bergegas masuk mencari keberadaan istrinya. Langkahnya terhenti sejenak di ujung lorong menuju kamar jenazah. Menatap perempuan bercadar yang tengah duduk sambil menangis. Jibril meneruskan langkah, mendekati perempuan yang tidak lain adalah istrinya sendiri.

Air Mata Jelilah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang