Sembilan Belas

1.8K 285 330
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya!

Kalau lupa alur, bisa baca chapter sebelumnya♡










Kecelakaan yang dialami Harsa membuatnya harus terbaring tak berdaya di rumah sakit. Sudah setahun pria itu koma tanpa menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan siuman. Selama itu juga Jibril sering datang ke rumah sakit untuk sekedar membantu Aji, menemani Jelilah, atau menjemput Arya ke sekolah.

Berkat dorongan semangat dari keluarga juga, Jelilah akhirnya tidak terlalu terpuruk dan tanpa lelah mendoakan kesembuhan untuk suaminya. Walaupun dalam hati masih bersedih dan sangat berharap suaminya akan segera bangun dari tidur panjangnya.

"Ma, kapan ayah bangun?" pertanyaan yang ke sekian kalinya keluar dari mulut Arya. Bocah itu sudah sering menanyakan hal yang sama pada sang ibu.

"Kita doakan saja semoga ayah segera bangun," kata Jelilah, jawaban yang tak jauh berbeda dari jawaban-jawaban sebelumnya.

Arya merengut. "Aku sudah berdoa setiap hari, tapi ayah tidak bangun juga. Apa Allah tidak mendengar doaku? Aku ingin ayah bangun sekarang."

"Allah pasti mendengar doamu, Nak. Arya harus lebih bersabar, ayah pasti akan bangun."

"Tapi kapan, Ma? Ayah lama sekali tidurnya, kenapa Allah belum membangunkan ayah? Allah tidak ingin ayah bangun?"

"Arya!" tegur Jelilah keras, membuat sang anak terperanjat kaget dan terdiam. "Jangan sembarangan bicara! Mama bilang sabar!" lanjutnya.

Arya masih mematung, detik selanjutnya matanya mulai berkaca-kaca. Ia sangat syok mendengar suara tegas sang ibu. Bocah itu langsung bergegas.

"Mau ke mana kamu, Arya?!"

Arya tidak menyahut dan segera membuka pintu, hendak berlari keluar, namun seseorang di depan pintu membuatnya harus berhenti dan tidak sengaja menabrak orang itu.

"Arya?"

Mendongak menatap sosok di hadapannya. "Om Jibril?"

Jibril berjongkok di hadapan Arya. "Ada apa? Kenapa menangis?" tanyanya sambil melirik sekilas pada Jelilah yang tengah berdiri, urung mengejar Arya.

"Ayah tidur lama sekali, mama selalu bilang kalau ingin ayah sadar, aku harus berdoa. Aku sudah berdoa setiap hari, tapi ayah tidak bangun juga, kata mama Allah maha mendengar, tapi kenapa Allah tidak mendengar doaku?" tanya Arya dengan air mata berlinang.

Jibril mengusap air mata Arya lalu mengajak anak itu duduk di kursi.

"Benar kata mamamu, Allah itu maha mendengar," kata Jibril.

"Tapi, kenapa doaku tidak dikabulkan?" tanya Arya.

Jibril mengusap kepala Arya lembut. "Karena Allah ingin melihat sejauh mana kesabaranmu. Allah ingin kamu lebih bersungguh-sungguh lagi, nanti kalau sudah saatnya, ayahmu pasti akan bangun."

"Aku rindu suara ayah," gumam Arya sedih.

Jibril mengangkat tubuh mungil itu lalu mendudukkannya di pangkuan. "Jangan menyerah dan selalu doakan ayahmu."

Arya hanya mengangguk mengiyakan. Sedang Jelilah yang melihat itu hanya bisa menghela napas pelan. Ia kembali masuk lalu duduk di samping brankar suaminya, menatap sendu wajah pucat nan tirus Harsa. Ia juga lelah menunggu, tapi tidak ingin menyerah. Jelilah berusaha bersabar dan tetap berdoa agar suaminya segera bangun dari tidur panjangnya. Digenggamnya tangan Harsa lalu dikecupnya punggung tangan pria itu. Benar-benar merindukan sosok yang selama ini telah memberikan kebahagiaan untuknya.

Tiba-tiba, Jelilah merasakan jemari Harsa bergerak. Ia semakin erat menggenggam jemari suaminya, memastikan tadi ia tidak sedang berhalusinasi. Jemari Harsa benar-benar bergerak, Jelilah segera menekan tombol darurat, dan tak lama kemudian dokter datang bersama seorang suster.

Air Mata Jelilah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang