Empat

2.9K 413 107
                                    

Update, jangan lupa votement!!










Memandangi jaket tebal yang dipinjamkan Harsa beberapa hari lalu. Jelilah tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya, ia tidak tahu alamat rumah Harsa. Membuka ponsel, mencari info tentang keluarga Reifansyah. Senyum Jelilah mengembang, walaupun tidak ada alamat lengkap rumahnya, setidaknya ada alamat lengkap perusahaan. Jelilah yakin Harsa pasti kerja di perusahaan itu.

"Apa aku kirim saja ke perusahaannya? Pasti dia bekerja di sana, kan?" monolognya.

Ia segera menyimpan jaket itu ke dalam lemari dan akan mengirimkannya nanti. Baru saja hendak ke kamar mandi, tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Jelilah mengambil cadarnya dan bergegas ke bawah untuk melihat siapa yang datang.

Begitu membuka pintu, senyumnya langsung merekah.

"Assalamualaikum, Sayang," salam Jillian, ibunda Jelilah.

"Waalaikumsalam, masuk, Bunda." Jelilah bergelayut di lengan ibunya itu sambil melangkah masuk ke dalam rumah.

"Anak bunda apa kabar?" tanya Jillian, mendudukkan diri di sofa ruang tamu.

"Alhamdulillah, baik... Bunda bagaimana?" tanya Jelilah balik.

"Bunda baik... bagaimana dengan suamimu? Apa dia memperlakukan kamu dengan baik?"

Terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, Bunda," kata Jelilah.

"Alhamdulillah, bunda senang mendengarnya," ucap Jillian sambil mengusap kepala putrinya. "Bunda tidak lama, hanya ingin mengantar ini, telur bumbu merah kesukaanmu." Menyerahkan rantang berisi makanan kesukaan Jelilah.

"MasyaaAllah... terima kasih, Bunda," ucap Jelilah senang.

"Sama-sama, Sayang." Jillian beranjak dari duduknya. "Ya sudah, bunda pulang dulu, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Jelilah, mengantar ibunya itu sampai ke depan pintu, keduanya berpelukan singkat sebelum Jillian pergi.

Jelilah melanjutkan aktifitasnya, hendak mencuci pakaian. Diambilnya keranjang cucian, memilah-milah pakaian, memeriksa saku tiap baju dan celana, barangkali ada yang terselip.

Saat meraba saku jas Jibril, ia menemukan sesuatu, raut wajahnya langsung berubah masam, menemukan lipstik dalam saku jas suaminya. Itu jelas bukan milik Jelilah karena dirinya tidak pernah memakai lipstik dengan warna mencolok.

Akibat lipstik itu, mood Jelilah jadi buruk. Mencuci dalam keadaan kesal, begitu pun saat melakukan aktifitas lainnya. Entah mengapa akhir-akhir ini ia jadi sangat sensitif dan pencemburu.

Sore hari, Jibril baru pulang. Tidak pulang malam karena ingin melihat istrinya yang cantik. Tidak tahu dalam rangka apa, ia membelikan sebuket bunga lily berwarna putih. Begitu masuk kamar, ia langsung melihat sosok Jelilah yang tanpa hijab. Perempuan itu baru selesai mandi dan baru selesai memakai krim wajah.

Melihat bayangan suaminya di cermin, Jelilah kaget dan langsung mencari jilbabnya. Jibril mendekat dengan langkah terburu-buru, mengambil jilbab yang tergeletak di atas kasur.

"Kembalikan!" pekik Jelilah.

Jibril menggeleng, menyembunyikan kain jilbab itu ke belakangnya. "Assalamualaikum, Cantik."

"...." Jelilah terdiam, mengerjapkan matanya. "Waalaikumsalam," jawabnya kemudian.

Memandangi wajah cantik dengan rambut hitam lurus dan tebal yang tergerai hampir mencapai pinggang. Lagi-lagi Jibril terpesona dengan kecantikan fisik istrinya itu.

Air Mata Jelilah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang