Tiga

2.7K 426 115
                                    

Update lagi, jangan lupa votement!!!









Malam semakin larut, Jelilah beranjak ke kamar usai makan malam sendirian seperti biasa, karena lagi-lagi suaminya pulang telat. Lelah? Pasti, waktu Jibril di rumah hanya saat Jelilah hendak terlelap dan waktu pagi sebelum berangkat kerja.

"Sampai kapan dia akan seperti ini padaku? Tidak adakah celah untukku dalam hatinya walau sedikit?" monolognya disusul helaan napas berat. "Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, luluhkanlah hatinya seperti Engkau meluluhkan besi nabi Daud...."

Merebahkan diri sambil menarik selimut, hendak tidur. Saat kesadarannya sudah hampir hilang, pintu kamar terbuka, Jibril baru pulang. Mengabaikannya, Jelilah pura-pura tertidur. Pria itu meletakkan tas kerjanya di sofa, membuka jas serta kemejanya sebelum masuk ke kamar mandi, membersihkan diri.

Beberapa saat kemudian, Jelilah merasa seseorang naik ke kasur dan merebahkan diri di sampingnya. Berdebar saat tubuh itu semakin dekat, sampai-sampai hawa panasnya bisa Jelilah rasakan, apa Jibril sakit? Detik selanjutnya, sebuah lengan memeluk pinggangnya. Jelilah masih enggan membuka mata. Namun, karena suhu tubuh Jibril yang panas membuatnya khawatir. Jelilah pun berbalik dan melihat suaminya.

"Jibril?" panggil Jelilah.

"Huh?" sahut Jibril pelan.

Menempelkan punggung tangannya ke dahi suaminya. "Kamu demam."

"...." Jibril tidak menyahut, matanya terpejam, sesekali keningnya berkerut karena kepalanya terasa sakit.

Jelilah hendak beranjak mengambil air untuk mengompresnya, namun suaminya enggan melepas pelukan, mengisyaratkan agar Jelilah tidak pergi ke mana-mana. Setelah Jibril tertidur, barulah Jelilah bisa tertidur juga. Antara sadar dengan tidak, Jibril melepas kaosnya karena kepanasan lalu kembali memeluk istrinya.

Subuh-subuh, Jelilah bangun lebih dulu daripada suaminya. Terkejut melihat Jibril yang tidak memakai baju, kaosnya tergeletak di sudut kasur. Lelaki itu menggeliat dan melenguh, menarik Jelilah ke dalam pelukannya.

"Raline...," gumam Jibril.

Jelilah langsung melepas pelukan, menyentak tubuh Jibril hingga lelaki itu sadar dari tidurnya. "Saya Jelilah, bukan Raline!" pekiknya kesal.

"Ah... Jelilah," gumam Jibril, mengurut kening yang masih pusing.

Jelilah mendengus kasar, langsung bergegas ke kamar mandi dengan perasaan kesal. Ini masih pagi buta, ia bahkan baru bangun tidur, tapi sudah dibuat kesal oleh suaminya sendiri. Usai mandi dan berwudhu, Jelilah keluar dan mengambil mukena. Karena kekesalannya itu, ia sampai shalat subuh sendiri tanpa menunggu suaminya.

Karena salah sebut nama tersebut, Jibril masih didiami sampai pagi. Jelilah tidak habis pikir, segitu berartinya Raline sampai suaminya menyebut nama wanita itu walau sedang berada di alam bawah sadar.

Memandangi istrinya yang tengah menyiapkan makanan di atas meja, mendekat dan langsung memeluknya dari belakang, menumpu dagunya pada bahu sempit sang istri. "Masih marah, hm? Saya minta maaf," ujarnya.

"Kenapa minta maaf? Kan waktumu memang selalu untuknya, wajar kalau saat tidur pun namanya yang kamu sebut," ujar Jelilah ketus.

Menangkup dagu Jelilah dengan sebelah tangan. "Cemburu?" tanyanya.

Menepis tangan Jibril dari dagunya, juga melepas pelukan Jibril di pinggangnya. "Menurutmu? Istri mana yang tidak cemburu melihat suaminya akrab dengan perempuan lain?"

"Sudah saya bilang, dia bukan perempuan lain," sanggah Jibril.

"Ya, sahabat tercintamu itu," sahut Jelilah, hendak bergegas namun Jibril menarik lengannya, menahannya agar tidak pergi.

Air Mata Jelilah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang