Chapter yang ini agak panjang, jangan lupa votement!!!
Jibril baru tiba di masjid Baiturrahman. Dari jauh, ia melihat Raline yang masih berdiri di tangga masjid menunggunya. Jibril segera menghampiri wanita itu dengan langkah terburu-buru. "Assalamualaikum," salamnya.
Raline menoleh dan tersenyum. "Waalaikumsalam... Jib? Ku pikir kamu tidak datang karena tiba-tiba mematikan ponsel."
Jibril tersenyum senang saat Raline menjawab salamnya. "Kamu benar-benar sudah mualaf? Bagaimana mungkin?" tanyanya.
"Kamu tidak senang?" tanya Raline balik.
"Bukan begitu, aku hanya tidak menyangka... dulu kamu memilih putus denganku karena tidak ingin pindah agama, tapi sekarang?"
"Aku sudah yakin dengan pilihanku, Jibril...."
"Lalu... orang tuamu bagaimana? Apa mereka tahu?"
Raline menghela napas pelan lalu menggeleng. "Mereka tidak tahu, aku mualaf tanpa sepengetahuan mereka."
"Kamu terlalu nekat, Raline... orang tuamu harus tahu, restu mereka itu penting," kata Jibril.
"Nanti saja kita pikirkan itu, yang terpenting... kamu akan menepati janjimu, kan?"
Jibril menghela napas berat. "Aku ingin... tapi, Jelilah tidak ingin aku menikah lagi."
"Tapi kamu sudah berjanji padaku," ujar Raline kesal.
"Iya, aku akan menepati janjiku, aku akan membujuk Jelilah lagi sampai dia mengizinkan kita untuk menikah." Lalu ide gila muncul di kepala Jibril. "Kalau perlu kita menikah tanpa sepengetahuannya," lanjutnya.
"Baiklah, aku setuju-setuju saja," final Raline akhirnya.
"Ngomong-ngomong... selamat karena sudah menjadi mualaf, aku ikut senang," ucap Jibril.
Raline tersenyum tipis. "Terima kasih... bagaimana kalau kita ke kafe? For little celebration," ajaknya.
Jibril mengangguk. "Boleh... kamu membawa mobil sendiri?"
"Tidak, aku sengaja ke sini naik taksi, karena aku yakin kamu pasti akan datang kalau ku beritahu kabar ini," ujar Raline.
"Baiklah, kita naik mobilku, ayo!" Jibril beranjak lebih dulu dan Raline mengikutinya.
Sementara di rumah, Jelilah masih melamun di kamar. Kabar tentang Raline yang menjadi mualaf cukup membuatnya syok. Ekspresi bahagia Jibril tadi juga membuatnya takut. Perbedaan agama yang menghalangi Jibril dan Raline sudah tidak ada lagi, mereka sudah seiman dan besar kemungkinan suaminya itu akan menikah lagi.
Karena terlalu larut dalam kekacauan hatinya, Jelilah sampai mengabaikan perutnya yang beberapa kali berbunyi karena lapar. Sadar dari lamunan, Jelilah menunduk, menatap dan mengelus perutnya sambil beranjak. "Kamu lapar, hm? Maaf, mama akan makan untukmu."
Jelilah beranjak keluar kamar sambil mengusap-usap perutnya yang buncit. Melangkah ke dapur untuk mengambil sesuatu yang bisa dimakan.
"Ada apa, Nya?" tanya Bi Mina yang kebetulan baru selesai masak untuk makan malam.
"Saya lapar, Bi," ujar Jelilah langsung.
"Oh, sebentar, Nya... biar saya ambilkan." Bi Mina langsung memindahkan masakannya ke dalam mangkuk besar. Mengambilkan sepiring nasi untuk majikannya itu lalu menyajikannya di meja makan.
"Terima kasih, Bibi sudah makan?" tanya Jelilah.
"Sudah, silakan dimakan, Nya... saya mau ke dapur lagi," pamit Bi Mina dan Jelilah mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Jelilah ✓
Fiksi Penggemar(Xinlaire series 2) Tentang Jibril yang dijodohkan dengan wanita bercadar bernama Jelilah. Walaupun sudah menikah, perasannya tidak berubah dan tetap mencintai mantan pacarnya, Raline. "Dilihat dari manapun, kamu memang lebih cantik dari Raline, tap...