Dua puluh satu

1.5K 276 50
                                    

Jangan lupa vote komen!











Dua hari setelah kepergian suaminya, Jelilah masih diselimuti rasa duka. Ia hanya menghabiskan waktu seharian di kamar. Bahkan untuk memasak pagi ini pun Aji yang melakukannya, sekaligus mengantar adiknya ke sekolah.

Sepulangnya dari sekolah, Aji langsung menyiapkan makanan, karena pasti ibunya itu belum memakan apapun sejak pagi, melihat masakan yang Aji siapkan untuknya tadi pagi masih utuh. Tanpa mengganti seragam sekolahnya, Aji langsung bergegas ke kamar ibunya, ia langsung membuka pintu karena beberapa kali mengetuk tak kunjung dibuka.

"Ma?" panggil Aji, meletakkan nampan berisi makanan dan segelas air di atas nakas lalu mendekati Jelilah yang tengah berbaring menyamping sambil memeluk foto Harsa. Dari wajahnya yang sembab, Aji bisa langsung tahu kalau mamanya itu pasti habis menangis.

Diusapnya pipi sang mama pelan. "Ma...," panggilnya lagi.

Perlahan, Jelilah membuka dan mengucek matanya. "Hm... Aji?"

"Mama pasti belum makan sejak pagi, ayo, makan dulu," kata Aji, mengambil foto Harsa lalu meletakkannya di atas nakas.

Jelilah beranjak duduk. "Nanti saja, Nak... mama belum lapar."

"No, harus makan sekarang, Mama sudah melewatkan waktu sarapan dan makan siang."

"Baiklah, baiklah, mama ke kamar mandi sebentar." Jelilah langsung bergegas ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya lalu keluar lagi.

"Duduk, biar Aji yang suapi." Aji mengambil piring berisi makanan lalu mulai menyuapi sang mama.

"Di mana Arya?" tanya Jelilah.

"Di kamarnya, baru bangun tidur, mungkin sekarang sedang mandi," jawab Aji.

Usai menyuapi ibunya, Aji langsung ke kamarnya untuk mandi. Ia akan pergi ke apartemen ayahnya setelah shalat magrib nanti, Aji sempat menelepon papanya tadi pagi, Jibril mengatakan bahwa dirinya tidak bekerja hari ini karena sedang sakit.

Selesai menunaikan shalat magrib, Aji langsung bersiap-siap. Melihat putra sulungnya berpakaian rapi dan terlihat terburu-buru, Jelilah pun menghampirinya.

"Mau ke mana, Nak?" tanya Jelilah.

Aji menoleh. "Ke apartemen, Ma, papa sakit."

"Sakit?" beo Jelilah, ia langsung teringat saat kemarin di pemakaman, Jibril kehujanan karena memayungi dan menunggunya dua hari yang lalu. Jelilah pikir Jibril pasti sakit kehujanan.

Aji mengangguk. "Iya, tadi pagi Aji sempat menelepon, ternyata papa sudah dua hari tidak masuk kerja karena sedang tidak enak badan, Aji ingin ke sana menjenguk."

"Aku ikut!" seru Arya seraya berlari turun dari tangga. "Aku juga ingin menjenguk om," lanjutnya.

Aji mengusap kepala sang adik. "Kalau kamu ikut, siapa yang menjaga mama di sini, hm?"

Arya merengut. "Mama ikut saja dengan kita," ujarnya.

Jelilah menggeleng. "Mama di sini saja, tidak apa-apa kalau kalian ingin pergi."

"No, no, no, kalau sendirian, Mama pasti menangis lagi, Mama harus ikut!" paksa Arya.

"Mama tidak menangis, Arya," elak Jelilah.

"Lying, tadi sore aku lihat mata Mama bengkak, pasti habis menangis karena ayah," kata Arya.

"Arya," tegur Aji, melihat sang mama yang terdiam karena ucapan Arya barusan, Arya pun langsung tutup mulut.

"Maaf," cicit Arya pelan.

"Tunggu, mama siap-siap sebentar." Jelilah langsung bergegas ke kamar. Tak lama kemudian, ia kembali dengan mengenakan cadar.

Air Mata Jelilah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang