Lima

2.7K 415 116
                                    

Update lagi, jangan lupa votement!!

Gak rame, auto slow update~






Jam sebelas malam, Jibril baru pulang bersama Raline. Suasana rumah minimalis berlantai dua itu sangat sepi. Jelilah mungkin sudah tidur di kamar tamu.

"Jibril," panggil Raline.

Si pemilik nama menoleh. Raline berjalan mendekatinya. Agak terkejut saat wanita itu tiba-tiba menyentuh dadanya, bergerak turun meraba perut Jibril yang masih tertutup kemeja. Jibril refleks mundur. "Jangan macam-macam!"

Raline tersenyum tipis. "Why? Kita saling mencintai, bukan?"

"Iya, tapi bukan berarti kita boleh bersentuhan," sahut Jibril.

"Aku tahu kamu tidak bisa menahannya dan menjadikan istrimu sebagai pelampiasan karena tidak bisa menyentuhku," ujar Raline percaya diri.

Jibril menggeleng. "Aku tidak pernah menjadikan Jelilah sebagai pelampiasan, Raline."

"Oh ya? Kalau begitu," Mendekat dan berdiri satu langkah di hadapan Jibril. "Mau mencoba sesuatu yang baru denganku?"

"...." Jibril diam, meneguk ludah kasar saat Raline menurunkan resleting depannya. Terhenyak saat lengan mungil itu memeluk pinggangnya.

Raline mendongak dan tersenyum pada Jibril kini menegang. Nekat, Raline menarik tengkuk Jibril, hendak menciumnya.

Klek!

Pintu kamar tamu terbuka, di depan mata Jelilah, suaminya hendak berciuman dengan wanita lain. Tinggal lima senti lagi, maka bibir keduanya akan bersentuhan.

"Astaghfirullahalazhiim!" pekik Jelilah, membuat Jibril dan Raline terperanjat.

Dengan cepat, Jelilah menutup kembali pintu. Tangisnya langsung tumpah saat itu juga. Sedangkan Jibril langsung mendorong kasar tubuh Raline, membuat wanita itu nyaris terjungkal ke belakang kalau tidak ada sofa di belakangnya.

Bergegas masuk ke kamar tamu menghampiri istrinya yang kini terduduk di lantai sambil menangis. Jibril hendak menyentuh, namun Jelilah langsung menepis kasar tangannya.

"Jangan sentuh saya!" pekiknya geram.

"Ini tidak seperti yang kamu lihat, Jelilah... tadi itu salah paham!" kata Jibril.

"Salah paham?!" beo Jelilah. "Saya lihat dengan mata kepala sendiri kalau kalian hampir berciuman!" seru Jelilah dengan air mata yang membanjiri pipinya.

"Raline tiba-tiba memeluk dan ingin mencium saya, percayalah... saya tidak--"

"Cukup! Saya tahu, saya hanya istri di atas kertas dan kamu bebas mencintai Raline, bebas melakukan apa saja dengannya! Kamu tidak pernah menghargai perasaan saya sedikitpun karena memang saya tidak berarti bagimu!" ujar Jelilah dengan napas tersengal-sengal, hatinya terlalu sakit dan sesak.

Jibril mengacak rambutnya frustasi disusul helaan napas kasar. "Percaya saya, Jelilah, kamu hanya salah paham."

"Keluar!" usir Jelilah.

"Tolong jangan seperti ini, saya--"

"Kalau kamu tidak mau keluar, biar saya yang keluar...," lirih Jelilah dengan suara yang sudah serak.

Jibril mendengus kasar, ia pun beranjak dari duduknya, meninggalkan Jelilah sendirian di kamar tamu. Sedangkan di sofa, Raline duduk tanpa rasa bersalah.

"Maaf, Jelilah jadi salah paham," ujarnya tidak serius.

"Keterlaluan kamu," kata Jibril kesal.

Raline mendelik marah. "Kamu menyalahkanku?!"

Air Mata Jelilah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang