Enam belas

2.9K 516 139
                                    

Jangan lupa votement!!!!!!!






"Bagaimana, Nak? Apa kamu menerima lamaran Nak Harsa?" tanya Liam.

Jelilah masih diam, sedangkan Harsa hanya menunduk, menyatukan kedua tangan dan menyilangkan jari-jarinya, menunggu jawaban dari Jelilah. Ia juga sama berdebarnya seperti Jelilah, hanya saja Harsa lebih pandai menyembunyikan ekspresi hingga terlihat sangat santai dan biasa saja.

"Saya...."
















"Menerima lamaran tersebut."

Harsa langsung mengangkat kepala. "Saya tidak salah dengar, kan? Kamu menerima lamaran saya?"

Jelilah mengangguk pelan. "Iya."

"Tidak ada paksaan dari siapapun?" tanya Harsa lagi.

"Tidak ada," jawab Jelilah disertai gelengan kepala.

"Alhamdulillah," gumam Harsa sembari menyapu wajah dengan kedua tangannya.

"Untuk meyakinkan calon suamimu, apa kamu tidak ingin membuka cadar?" tanya Liam.

"Eum...."

"Tidak perlu," potong Harsa. "Saya sudah yakin dengan putri anda. Toh nanti juga saya akan melihat wajahnya kalau kami sudah menikah."

"Baiklah, kalau Harsa sudah yakin dengan Nak Jelilah. Sekarang tinggal tentukan tanggal pernikahannya," ujar Agung.

"Satu bulan dari sekarang, bagaimana? Agar kita bisa menyiapkan semuanya dengan baik dan tidak tergesa-gesa," usul Nyimas.

"Terlalu lama, Bu," protes Harsa.

"Mas Harsa saja yang tidak sabar, dasar!" cibir Ayudia.

"Bagaimana, Jelilah?" tanya Liam.

Jelilah mengangguk. "Saya setuju dengan bunda, sebulan adalah waktu yang tepat."

"Dengar, kan, Harsa? Kamu harus bersabar dan menunggu selama sebulan," ujar Agung pada putra sulungnya itu.

Harsa menghela napas pelan. "Baiklah, sebulan dari sekarang."

Setelah lamaran tersebut, keluarga Harsa masih menginap di apartemen Liam dan akan pulang ke Indonesia besok pagi. Apartemen tersebut cukup luas dan memiliki lima kamar, sehingga Harsa dan keluarganya tidak perlu menyewa hotel.

Malamnya setelah isya, Harsa mengajak Jelilah berbicara di ruang tamu. Ia masih tidak menyangka bahwa wanita yang selama ini ia tunggu menerima lamarannya dan akan segera menjadi istrinya.

Jelilah tetap fokus pada Aji yang sudah mengantuk, namun, tidak ingin jauh-jauh dari dirinya. Sambil mengobrol dengan Harsa, Jelilah menepuk-nepuk pantat Aji agar tertidur di pelukannya.

"Saya hanya ingin memastikan, apa benar kamu menerima lamaran saya?" tanya Harsa.

"Iya," jawab Jelilah singkat.

"Kamu menerima bukan karena terpaksa, kan? Kalau kamu terpaksa karena tidak enak atau apa, saya--"

"Saya sudah istikharah, Harsa," potong Jelilah. "Tidak ada yang memaksa saya untuk menerima lamaran kamu, saya yakin dan ikhlas menerimamu."

Harsa mengulum senyum. "Alhamdulillah kalau begitu," gumamnya.

"Itu saja yang ingin dibicarakan?" tanya Jelilah dan Harsa mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi, Aji sudah mengantuk."

Harsa mengangguk lagi, membiarkan Jelilah beranjak dan berlalu ke kamarnya. Harsa mengusap wajahnya dengan tangan lalu tersenyum. Hatinya tengah berbunga-bunga karena penantian panjangnya akan segera berakhir. Jelilah akan menjadi miliknya seutuhnya secara sah.

Air Mata Jelilah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang