Day 2

5.7K 571 6
                                    

HARI kedua berpuasa, aku sudah jauh lebih baik dari kemarin. Kemarin aku benar-benar lemas mengurus segala sesuatunya dengan keadaan perut kosong. Harusnya sih tidak seperti ini, tapi karena beberapa bulan belakangan aku terbilang jarang melaksanakan puasa-puasa sunnah lainnya lagi—demi kegiatan kuliahku, badanku mungkin jadi kaget-kagetan tiba-tiba tidak diganjal apa pun. Intinya, aku ikhlas menerima semua yang kujalani ini untuk kebaikanku, insyaa Allah bulan-bulan berikutnya aku harus mulai membiasakan berpuasa sunnah lagi.

Terlepas dari macet yang menjebak selama lebih dari tiga puluh menit, driver yang mengantarku akhirnya masuk ke gerbang komplek. Jalannya jadi agak lebih cepat melihat suasana sedang legam tak ada aktivitas di sepanjang jalan.

Ketika memasuki lorong blok B sebagai jalan tercepat menuju blok E rumahku, bola mataku jadi mekar melihat sosok lelaki tidak dikenal di depan sana sedang menggendong Mona di pelukannya. Aku tidak punya pikiran lain selain meminta driver tersebut segera berhenti di situ saja atau Monaku akan kenapa-kenapa.

“Hei, kamu!!!” Aku berteriak setelah turun, suaraku jadi bercampur dengan derum mobil yang berlalu sebelum dia menoleh tadi.

“Saya?” Katanya menunjuk diri. Ikut kususul dia sembari menatar Mona di pelukannya.

“Balikin kucing saya! Maling kok di bulan Ramadhan, istighfar!” ketusku tidak habis pikir.

“Oh ini kucing kamu? Ya sudah, dibawa pulang gih, tadi saya nemuin dia di depan masjid, kayanya lagi cari makanan gitu, jadi saya inisiatif bawa pulang buat dikasih makan,”

“Kamu jangan sembarangan ya! Kucing saya jarang banget keluar rumah, apalagi buat nyari makan! Alasan aja!”

“Memang kenyataannya begitu kok. Saya nemuin kucingnya di masjid lagi ngendus-ngendus di pelataran,”

“Mona, bener kamu ke masjid? Nyari makan? Ya ampun, Mona, Abah sama Umah memang ke mana, masa lupa ngasih kamu makan. Nggak mungkin kan? Pasti orang ini boong!” Aku kembali menghadap dia, niatnya aku ingin menyelesaikan masalah dia akan membawa Mona entah ke mana nantinya, tapi melihatnya yang tampak aneh menatapku berbicara dengan kucing ... aku jadi dibuat malu sendiri.

“Ya udah, saya pamit dulu. Awas sampai kamu berkeliaran di komplek ini lagi. Aku panggilin massa biar sekalian dibawa ke kantor polisi! Assalamualaikum!”

Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh.

Kisah Mona hampir diculik orang tak dikenal segera kuceritakan pada seisi rumah. Kebetulan karena Abah sedang libur dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, jadi dia ikut kuberitahu segala yang terjadi pada Mona.

Tidak mungkin sekali Mona sampai ke pelataran masjid mencari makanan, aku sendiri yang memesankan makanan pekan lalu untuknya dan masih tersisa banyak sampai sekarang. Dasar alibi maling, mentang-mentang bulan Ramadhan, alasannya ikut direvisi agar kedengaran lebih masuk akal. Padahal kan maksiat mau dibahasakan sebaik apa pun, namanya tetap maksiat.

“Bibah nggak nanyain dulu dia tinggal di mana gitu? Kayanya Umah dari tadi nggak liat ada yang masuk rumah ngambil Mona, siapa tahu memang Mona yang keluar terus nggak sengaja sampai masjid, dia niatnya mau ngasih makan di rumahnya aja makanya dibawa pulang,”

“Umah, insyaa Allah Bibah masih hafal muka semua orang di kompek ini. Bibah belum pernah ngeliat ada warga kaya dia, Bibah yakin banget dia pasti orang asing!”

“Bibah, ini kan lagi Ramadhan, banyak kan keluarga tetangga kita yang keluar masuk mudik. Siapa tahu dia salah satu pemudik di tempat kita ini,” Abah ikut menyahuti argumenku, sekaligus dipatahkan juga.

“Iya sih, Bah,” Aku jadi tertegun bersalah.

Tidak sepantasnya tadi aku menuduh orang lain tanpa dasar yang jelas. Apalagi di bulan penuh berkah ini. Perkataanku mungkin telah menyakiti hati orang yang berharap sedang mengunjungi lingkungan baik. Aku malah datang memaki dia dan menuduhnya maling.
Bibah, Bibah!

Ramadhan Tale (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang