MEMASUKI hari kesebelas bulan Ramadhan. Teman-teman kampusku akhirnya memutuskan untuk melakukan buka puasa bersama alias bukber, di rumahku.
Hal tersebut dikarenakan izinku yang sangat sulit didapat serta kengototan teman-teman kelasku yang mengharuskan semuanya ikut dalam acara yang termasuk dalam acara wajib tahunan ini. Jadilah solusi terakhir yang diusulkan Megi, memutuskan kita akan bukber di rumahku saja.
Pagi pukul delapan, Ilham dan kawanan seperrecahannya sudah tiba di rumahku. Sesuai rencana di grup kelas malam tadi, mereka akan bertugas menemaniku berbelanja bahan-bahan makanan bersama Yuli, Uci, dan Fika.
“Kita bagi aja biar cepet. Ilham, Oji, Yuli, dan ... Uci deh. Kalian ke pasar, beli ayam sama bahan-bahan menu takjilnya. Gua, Fika, sama Habibah ke minimarket nyari bahan sayuran dan daging iga buat gua ...”
“Za, dana kelas kita nggak banyak! Lu ngapain gaya banget mau iga sih??? Nggak ada!” protes Uci tidak terima. Aku juga sebenarnya tidak terima, tapi kasihan Moza tidak bisa memakan daging ayam.
“Gua alergi ayam, Ci. Mau lu badan gua bentol-bentol balik dari sini???”
“Tapi nggak iga juga! Yang lain. Tempe aja deh, tempe,”
“Tempe!” setuju Yuli, namun dibantah keras oleh Moza.
“Masa tempe doang? Yang bener dong lu! Kapan sih lu pada bisa bahagiain gua, hah? Ramadhan loh ini, ayolah ... amal, amal ...”
“Si Moza lama-lama jadi nggak tahu diuntung ya. Ini aja kita udah berat banget ke nyokap Bibah, masa ini acara kita tapi yang ngerjain semua malah orangtua??? Udah deh nggak usah kebanyakan gaya mau iga segala. Pokoknya yang sesuai budget kelas aja. Okey!” Yuli ikut membungkam Moza juga. Nampak Moza seketika mengulum bibir meweknya.
“Ayolah. Gua janji, beres jam Pak Imam gua langsung ke rumah Bibah bantu nyokapnya. Ikhlas gua nggak ikut jam kuliah terakhir, asal iga. Please, lah!”
“Udahlah guys, iyain aja cepet. Sampai lebaran adha nggak bakal nyerah nih anak. Waktu kita udah nggak banyak. Dua jam lagi jam kuliah Pak Imam udah masuk loh, yuk berangkat sekarang!” Oji menengahi.
Barulah saat itu Moza tersenyum lebar menumbang semua suara yang tak sepaham dengan dia. Sedang Uci dan Yuli melotot bukan main mendengar putusan sepihak Oji, selaku ketua tingkat. Pasalnya keuangan kelas mereka sangat tidak patut untuk berlaku hedon bukber pakai menu iga segala.
Yuli, Uci, Ilham, dan Moza kemudian bergegas pergi. Sengaja Moza bertukar dengan Oji karena setahuku minimarket komplekku tidak menyediakan daging sapi. Jadilah aku, Fika, dan Oji ke minimarket membeli bahan-bahan sayur sop dan keperluan takjil seperti buah, gorengan, dan bahan membuat kue bolu saja. Sisanya akan menjadi tanggung jawab Ilham dan kawan-kawan.
Tentengan kita cukup banyak sepulangnya dari minimarket, sekiranya satu kantong besar kuangkat bersama Oji, dan Fika menggendong tiga botol sirupnya.
“Assalamualaikum ...”
Napasku kewalahan memasuki rumah. Umah dan Umi Hilda bergegas membantu kami segera.
Iya, di sini ada Umi Hilda juga yang akan membantu Umah. Aku sangat-sangat berat ketika malam tadi sepulangnya dari tarwih Salma menceritakan pada Uminya bahwa kelasku hendak mengadakan buka bersama sepulang dari kuliah. Yang mana artinya, kami akan sangat kerepotan menyiapkan seluruh menunya jika melihat jadwal kuliah kami dari jam 10.30—16.30.
Malamnya Umah menerima telepon dan ternyata dari Umi Hilda yang menawarkan diri membantu bersama Umah. Umahku bahkan membela-belakan mengambil cuti hari ini untuk membantuku.
“Taruh di sana aja, Nak!”
Aku dan teman-temanku patuh meletakkan bawaan kami sampai di meja dapur saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H