MEMASUKI pertengahan Ramadhan, aku bersyukur sudah diperkenankan libur setelah sekian banyak rentetan urusan kuliah memenuhi kepalaku. Aku bisa duduk tenang melanjutkan hafalanku yang tertunda tidak sesuai target Ramadhan tahun ini.
Rumah begitu sepi menyisakan aku seorang mengulang-ulang ayat yang sama, Umah sedang ke kantor dan Abah izin mengurus tagihan listrik pesantren Abi Barak.
Sedikit bercerita, dulunya sih babahku seorang pemusik, Babah bekerja di sebuah label rekaman musik religi. Tapi setelah bergaul dengan Abi Barak, Babah memilih resign dari pekerjaan yang membesarkan namanya sebagai seorang arranger. Babah kemudian bergabung sebagai staf biasa di pesantren Abi Barak. Dia yang mengurus semua kebutuhan santri, dari air, listrik, kitab-kitabnya, bahkan makan pun Babah yang bersuka rela mengantar tenaga bagian dapur berbelanja.
Umahku juga. Umah seorang sarjana akuntansi. Dia pernah bercerita bahwa kali pertamanya menyandang gelar sarjana, Umah langsung mendaftarkan diri sebagai seorang pegawai di sebuah bank. Bahkan bertemu Abah pertama kali pun dikarenakan lokasi kantor mereka yang lumayan dekat. Umah memutuskan hijrah dari pekerjaannya tersebut setelah memasuki tahun pertama pernikahan, ibu dari Abah yang memaksa Umah untuk tidak memasukkan uang bunga ke dalam perutnya, menjadi darah bahkan daging untuk anak cucunya. Bila tidak sanggup memenuhi persyaratannya, silakan meninggalkan Abah hari itu juga.
Umah cukup tertekan dengan kehadiran ibu dari Abah saat itu, tapi setelah mendalami ilmu agama secara kaffah, Umah jadi sangat bersyukur menjadi menantu dari ibu Abah. Kadang seorang anak hanya tidak paham bahwa maksud setiap orangtua adalah untuk melihat anak-anaknya baik. Sampai sekarang pun aku bisa melihat bagaimana Umah menyayangi ibunya Abah, dia rutin ke pemakaman dua kali setiap bulan hanya untuk membersihkan makam Nini-ku sembari mendoakannya.
Sibuk melafalkan dengan benar bacaan di dalam kitabku sembari ikut mencocokkan seperti yang kudengarkan dibalik airpods, tiba-tiba sambungan yang sampai di telingaku berubah menjadi nada panggilan. Cepat kuperiksa ponsel yang sudah berubah tampilan dari gulir ayat-ayat Allah menjadi panggilan masuk dari umah.
“Assalamualaikum, Umah,”
“Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh. Bibah di mana? Kok Salma teriak nggak didengerin?”
“Hah, ada Salma ya? Ini Bibah lagi hafalan, makanya nggak denger,”
“Ya udah cepet dibukain, Nak, di luar Salma sama Fathar kayanya udah kepanasan bawain pesanan Umah,”
“Iya, iya Umah. Bibah keluar sekarang ...”
Aku bergegas membuka pintu dengan panik, kulihat mereka dengan muka tak bisa kudefinisikan lagi, apakah mereka kesal atau bahkan sudah mati rasa sakin lamanya menungguku.
“Aduh maaf, maaf. Aku tadi pakai airpods jadi nggak denger. Masuk Sal, Pak,” terangku terburu-buru membukakan pagar untuk mereka. Salma sih tidak masalah, Pak Fathar yang kasihan membawa kardus oven pesanan umah.
“Taruh di sini aja, Pak, nanti biar saya yang bawa ke dapur,”
“Kamu masih manggil saya bapak?”
Nanar tatapan Pak Fathar kemudian, dia bak hendak menelanku jika masih memanggilnya dengan panggilan bapak-nya itu. Kurasa bibirku juga sudah kelewat horor. Sulit sekali membujuknya memanggil Pak Fathar dengan panggilan beresan sedikit.
Panggil Kak, Habibah! Kak!!!
“Hm? Anu ... itu ... maksud saya, ovennya taruh di sini aja Kak, nanti biar saya yang bawa masuk. Kak Fathar pasti capek berdiri dari tadi di depan,”
“Jangan diubah-ubah lagi!” todongnya.
“Iya Kak, nggak diubah lagi,”
“Ekheeem!!!” Salma berdehem keras, aku dan Kak Fathar ikut menoleh mendengarkan keanehannya kini menyelidikku bergantian dengan Pak Fathar, seperti sedang menyatakan secara tersirat bahwa dia sedari tadi berada di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H