AKU bingung, bagaimana aku mengatakan pada Umah bahwa aku akan menjenguk Kak Fathar? Itu akan terdengar sangat-sangat aneh mungkin!
Entah sudah berapa kali putaran dapur ini kukelilingi berpikir, namun tak satu ide pun berhasil kutemukan. Hingga Umah sendiri akhirnya datang memasuki dapur menuang segelas air putih.
Kususul kemudian umahku duduk meneguk air putihnya, hendak kutanyakan sesuatu namun ragu.
“Umah?” panggilku. Umah balas menatapku juga.
“Ya?”
“Umah sibuk nggak nanti?” tanyaku meski sedikit takut-takut.
“Nanti ... nggak sibuk-sibuk amat tapi ada agenda sih,”
“Agenda apa?”
“Umah mau jenguk Fathar habis Asar. Bibah mau ikut?”
Wah! Pas sekali Umah menawarkannya, Alhamdulillah!
“Boleh,” jawabku, mengundang lirikan ikut tidak menyangka dari Umah.
“Tumben?” Begitu komentarnya.
“Iya kan katanya Umah khawatir kemarin sama Kak Fathar, jadi ya ... Bibah pengen ikutan liat juga,” ujarku. Umah sontak membenarkan tiba-tiba duduknya bak ingin bercerita panjang.
“Astagfirullah iya, Bah. Kemarin Umah tuh takut banget pas Fathar kakinya berdarah-darah, takut patah atau kenapa-kenapa kan. Sampai Umi Hilda heran sendiri, yang ibunya siapa, yang kalut siapa,” beritahu Umah.
“Dia kan cuman tetangganya kita, Umah. Masa Umah yang kalut sih, hihi,”
“Iya cuman tetangga, tapi kan lain cerita kalau tetangganya itu anak sahabatnya Umah. Fathar sama Salma itu udah Umah anggap sama kaya Bibah. Kalau semisal Bibah yang kakinya berdarah-darah pasti Umah nangisnya kaya kemarin juga,”
“Umah?” panggilku kembali. Aku jadi penasaran akan satu hal yang hendak kutahu dari Umah.
“Ya?”
“Kemarin waktu Bibah ikut ke pondok, Abah cerita. Katanya Abah seneng banget pas tahu Kak Fathar ada niatan baik ke keluarga kita. Kalau Bibah boleh tahu, di Umah sendiri perasaannya gimana kemarin?” tanyaku.
“Perasaan Umah? Senenglah, biarpun ... ada sedikit kecewanya sih,”
“Kenapa gitu kecewa?”
“Ya habisnya Bibah ternyata nolak. Umah kan nggak bisa pastiin semisal Fathar habis ditolak masih mau nungguin Bibah apa udah langsung dapet yang lain,” jawabnya. Sangat tidak sesuai jawaban yang kuinginkan!
“Umah emang nggak sedih ya seandainya Bibah kemarin terima tawarannya Kak Fathar? Kan Bibah jadi jauh sama Umah,” kataku.
“Lebih sedih mana seandainya di masa depan Umah ternyata nggak sempat tahu anak Umah jatuh pada tangan siapa? Bibah jangan sampai lupa, Sayang, umur Abah, Umah, dan Bibah itu nggak ada yang tahu. Kita nggak bisa menjamin hari esok. Jadi, selama hari ini masih sempat Umah mengetahui tangan yang menyambung tanggung jawab Umah ke Bibah, kenapa enggak? Itu adalah bentuk kelegaan terbesar Umah atas usia yang Umah selalu khawatirkan.”
Ya Allah ... sekhawatir itu ternyata Umahku. Kupikir selama ini aku sedang berdiri di atas kegusaranku sendiri atas hidup yang kujalani. Nyatanya aku salah. Sebab masa depanku adalah hal yang dianggap Umah dan Abahku adalah bab utama yang harus mereka tuntaskan juga.
“Tuh kan jadi bengong. Udah ah, habis asar Bibah siap-siap ya. Umah naik dulu, lanjut beresin lemari Abah yang ditelorin cicak. Banyak banget telornya, Bah. Mana udah ada yang menetas lagi, pusyiiinggg ...” cicit Umah memijit gemas pelipisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H