“Kak ... bangun yuk,” bisikku berusaha membangunkannya di pangkuanku.
Subuh tadi entah karena lemas atau memang modus, badannya tiba-tiba rebah membaringkan diri di pangkuanku sebagai bantalnya. Mau tidak mau aku ikut tidak bergerak membiarkan dia kembali tertidur sebentar.
Pukul tujuh pagi sudah, jika bukan karena punggungku yang lemas, aku mungkin masih pada kegiatanku yang entah sedang apa hanya menonton Kak Fathar tertidur, jangan lupa rule-nya yang tidur harus berpegangan tangan, kali ini juga dia melakukannya.
“Kak bangun yuk, udah pagi. Punggungnya Bibah pegel,” ujarku mengundang mata Kak Fathar mendadak terbuka.
“Ya Allah ... udah pagi ya, Bah?” Kak Fathar seperti kesetanan bangun terburu-buru.
“Iya, udah pagi. Kak Fathar mandi ya, habis itu kita ke bawah. Bibah banyak yang mau dirapiin,”
“Mau ikut bantuin juga, boleh?” cicitnya.
“Nggak boleh. Kakinya masih sakit,”
“Nggak sakit, kakinya udah bisa jalan beneran kok. Nanti juga udah mau ke masjid kan? Ayolah, Bibah ... mau bantuin aja. Nanti kamu kasian beres-beresnya bareng Umah aja,”
Pagi ini aku agak speechless melihat sosok lain di dalam diri Kak Fathar. Tak ada kemarin dia yang keren dengan gaya super berwibawanya. Di hadapanku sekarang tidak lebih dari anak sepuluh tahun merengeki lenganku agar diperbolehkan membantu ibunya, bukan istrinya.
Gelar istri terlalu horor untuk anak sepuluh tahun seperti Kak Fathar.
“Ayo ... boleh ya? Boleh ya, Bibahhhhh???”
“Iya, iya boleh,” jawabku tidak punya lagi pilihan. Jika dia ingin pincang sekalian, itu bukan lagi karenaku.
Pagi itu juga kami berdua segera turun ke bawah. Kudapati Umah sudah di dapur mengolah bahan-bahan membuat nastar. Tidak lupa anak gadisnya yang lain juga di sana.
Ya, siapa lagi anak yang kemarin mengklaim dirinya di depan Umahku bahwa dia telah resmi jadi anak Umah juga selain Salma. Setelannya seperti hendak berolahraga dengan training panjang, sweater, dan kaos kaki abu-abu senada dengan celana trainingnya.
“Widiiiihhhh, pengantin baruku udah bangun nih! Pules banget kayanya semalem,” celetuknya begitu melihatku dan Kak Fathar melintas.
“Apaan sih, Sal. Itu nastarnya diliat, selainya kebanyakan tuh!” ujarku menuntunnya fokus kembali ke kuenya, aku juga membantu Kak Fathar duduk sebentar.
“Duhhhh! Malu-malunya nggak nahan eui! Baperan jutaan kali rasanya nonton langsung yang real life-nya si balok dan si nggak pekaan tiba-tiba nemplok-nemplok terus ...”
“Salma emang nggak seberes itu ya sama kamu, Bah?” bisik Kak Fathar.
“Itu masih agak mendingan dikit, hihi,”
“Ck! Bisik-bisik mulu pengantin baru. Berasa hantu kita di sini, Umah,” bisik Salma kepada umahku.
“Namanya juga pengantin baru, Sal, lagi membangun kemistri,”
“Yehhh ... Umah salah. Mereka mah udah nggak membangun kemistri lagi, udah lebih pokoknya!!! Kemarin aja pas di kamar video call sama Salma, mereka udah sender-senderan. Itu di depan Salma doang loh ... gimana yang nggak ada siapa-siapa yang liat. Kayanya ... udah pelukan dah, aaaahhhh!!!” Salma histeris heboh di sana. Adonan kue dan selai di pegangannya bahkan tanpa sadar sudah tercampur satu.
Aku di kursiku tetap saja diam, tidak mungkin aku bereaksi berlebihan yang akan mengundang anak separuh cenayang itu bisa benar-benar tahu bahwa semalaman Kak Fathar tidur memelukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H