“ASSALAMUALAIKUM, Kak Bibaaaah,”
Tidak heran, semenjak Salma berbaikan dengan kakaknya, dia jadi kembali seperti Salma semula. Aku bahkan baru mendarat di rumah, tasku belum kulepas dari bahu, dia sudah melengkingkan teriakannya saja.
“Masuk, Sal ...”
“Siap ...” jawabnya tiba-tiba sudah di belakangku. Aku ingin kaget, tapi dia adalah Salma. Sudah biasa sekali dia melakukan hal di luar perkiraanku.
“Kak Bibah dari kampus?”
“Iya,”
“Ketemu Kak Fathar, nggak? Dia udah masuk ngajar hari ini loh,”
“Beda fakultas, Sal,”
“Emang Kak Bibah fakultas apa?”
“Sains,” jawabku lelah.
“Wah, keren banget. Nanti aku boleh ya jalan-jalan ngeliat kampus Kakak, bareng Kak Fath—”
“Nggak boleh, Sal. Kamu kalau mau tour kampus, biar sama aku aja. Nggak usah bawa-bawa kakak kamu! Kamu nggak tahu aja, di fakultas bahasa tadi udah kaya demo harga minyak naik tahu nggak! Gara-garanya Kak Fathar nongol jadi dosen baru di kelas bahasa Arab. Gempar semuanya! Gedung fakultasku aja sampai denger,”
Kulihat wajah geram Salma mendadak merah sekaligus jengkel, ujung mukenanya dicabik-cabik mendengar ceritaku yang entah unsur kemarahannya harus datang dari mana.
“Ganjen banget sih tuh mahasiswa! Awas ya kalau aku ke sana!” geriginya gemeretak sebal, “Tapi, Kak, nggak ada yang berani nyentuh Kak Fathar kan? Atau kecentilan depan Kak Fathar deh, nggak ada kan?”
“Kalau itu aku nggak tahu. Kan cuman tetanggaan fakultas. Tahunya cuman mereka histeris doang. Selain itu, aku kurang tahu dan nggak mau tahu juga sih,”
“Kak Bibah kalau nemu ada yang kecentilan, marahin kek. Masa gitu sih jawabannya?”
“Aku nggak ada hak marah. Biar Kak Fathar aja yang marah, okey!”
“Ck! Heran, hati Kakak terbuat dari apa sih? Bisa nggak dilumasin dikit biar peka perasaan sekitar! Heran, hati kok jelmaan kutub utara banget!” dumel Salma selayaknya anak SMA pada umumnya. Labil.
“Kamu mau tunggu di sini apa di kamar? Aku pengen mandi bentar soalnya,”
“Mm ... di kamar deh. Tapi, tapi aku boleh pinjem handphone-nya Kak Bibah nggak?”
“Buat?” Aku memicing curiga.
“Buat dipinjam. Masa kakak mandi akunya nggak jelas ngapain di kamar doang. Pinjem ya?”
“Yaudah,”
Tidak ada pilihan lain. Daripada harus membongkar yang lain, lebih baik sedikit jika ponselku yang diotak-atik, toh aku tidak menyimpan apa pun di dalam benda pipih nan canggih itu. Tidak foto atau apa pun yang bisa dikepoinya karena memang tidak ada. Paling dia hanya akan berkeliling sosial media selayaknya anak 5.0 pada umumnya.
Lima belas menit berjibaku membersihkan diri di kamar mandi, aku bergegas keluar menemui Salma bak sedang kasmaran akut di atas kursi putarku. Senyumnya mekar berseri-seri scrolling layar ponsel di depannya sana, sangat menjiwai peran remajanya!
“Kamu ngapain, Sal?”
“Ha? Nggak ngapa-ngapain. Cuman stalking Instagram fakultas bahasa kampus Kakak,”
“Tumben. Bukannya kamu mau ke Madinah ya?”
“Huft! Bukan itu, Kak. Coba liat nih, pokoknya aku nggak mau kalah sama mereka, semua fotografinya Kak Fathar udah aku love semmmmuaaa—”
“Salmaaa!!!” Kurampas segera ponselku dibersamai pekikan frustasi. Biji mataku macam tersulut besi panas menggeser-geser layar ponselku agar love-nya terbatalkan segera. Namun naas, karena akunku bahkan sudah menerima pengikut baru atas nama Kak Fathar.
Huwwwaaaa!!!!
Anak satu ini!!!
“Salma!!! Mukaku mau ditaruh di mana, Sal!!! Kenapa akun Kak Fathar di-follow sih?”
“Tenang aja, Kak Fathar baik kok. Itu udah di-follback—”
Monaaa, tolong! Kenapa dulu aku harus menerima pertemanan anak SMA satu ini. Dia memang baik namun kadang suka berkelakuan aneh! Lebih aneh dari Mona.
***
Sebelum ke masjid anak ini tak akan kubiarkan lepas tanpa disidang terlebih dahulu. Semakin ke sini dia jadi suka seenaknya terhadapku. Maksudku, iya dia boleh menganggapku seperti kakak perempuannya, tapi bukan berarti kita jadi bersaudara sungguhan antara aku, dia, dan Kak Fathar. Dia tidak bisa menjadikan aku tumbal agar dia dan Kak Fathar jadi punya bahan mengakrabkan diri. Iya kan?!!
“Kamu! Kita bahas satu-satu! Kemarin, kamu inget ... kamu bilang ke Kak Fathar kamu udah manggil anak remaja masjid, tapi nyatanya ... kamu cuman manggil aku, iya kan?”
“Sumpah demi Allah, Kak, aku udah ngajakin yang lain, cuman mereka pada milih bantuin umiku buat takjil daripada bersihin masjid—”
“Nggak, Sal. Nggak mungkin banget anak remaja masjid nggak mau bersihin masjid. Jujur kamu ngomong apa ke mereka?”
“Ak-aku ngomong apa, Kak? Ng-nggak ada ...”
“Jujur, Sal!” Nadaku berdesis malas.
“Mm, kan aku cuman nawarin doang kok, mereka mau bersihin masjid atau bantuin Umi buat takjil. Ya kebetulan aja pada mau bantuin Umi, jadi aku nggak salah dong,” jawabnya akhirnya.
“Astagfirullah, pantesan! Kamu kalau nawarin aku dua pilihan, jelas aku bakal milih bantuin Umi juga. Masalahnya kamu nggak sama sekali tawarin itu! Jadinya yang bersihin masjid cuman aku sama Abi Barak bertiga bareng Kak Fathar. Mana kamu pergi nggak balik-balik lagi. Ke mana kamu kemarin???” omelku. Sengaja kutumpahkan seluruh kejengkelanku kemarin sore untuknya di hari ini.
“B-bantuin Umi,”
“Bantuin Umi kamu bilang???”
Ubun-ubunku nyaris meledak mendengarnya alasannya.
“Hampir lima belas anak remaja masjid milih untuk ke rumah kamu semua, dan kamu bilang BANTUIN UMI JUGA???” Aku berdesis tidak habis pikir.
“Aku bahkan kepleset bareng Kak Fathar sampai tangan Kak Fathar luka. Tega kamu, Sal!!!”
“Tapi kemarin kita ke masjid kok lanjutin kerjaan Kakak, kata Kak Fathar ... Kak Bibah juga kepleset. Makanya aku hari ini ke rumah Kak Bibah agak cepetan, biar bisa jenguk juga,”
”Harusnya kamu bantuin aku, bukan lanjutin kerjaan aku!”
“Hehe, maap Kak. Tapi, tapi ... aku penasaran loh kemarin katanya Kak Bibah sampai buka jilbab luar buat obatin luka Kak Fathar. Itu beneran?”
Huft!
Untuk pertanyaan satu itu aku mogok menjawabnya! Agak memalukan memang untuk kuingat.
“Hmmm ... gemez banget sama Kak Bibah! Pokoknya kemarin tuh the best of Kak Bibah deh. Aku seneng bangeeet dengernya,”
“Serah kamu, Sal. Kayanya emang kamu udah berhaluan lain: seneng ngeliat orang lain susah!”
“Dih, Kak Bibah aja tuh yang nggak ngerti apa-apa! Memang dasar perempuan.”
***
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H