MASYA ALLAH.
Spesial hari ketujuh belas, yang merupakan hari spesial di bulan Ramadhan, hari di mana Al-Alaq ayat 1-5 turun pertama kalinya, hari ketika wahyu Al-Qur'an menyentuh tanah Mekkah pertama kalinya ... aku dan Umah berpikir hendak menyiapkan menu spesial Arabic food untuk berbuka puasa.
Sedari pagi kami telah sibuk membuat berbagai macam makanan, mulai dari kebab, kunafa atau kue Pai renyah berisikan keju leleh yang lembut, dan terakhir ada nasi kebuli. Sebagian kami sajikan di rumah, sebagian lagi akan kubawa ke masjid untuk jamaah berbuka magrib nanti.
“Sayaaang, udah jam lima loh. Makanannya dibawa gih,” pekik Umah dari dapur sana. Aku yang asik video call dengan Abah terpaksa harus dijeda.
“Abah udah dulu ya, nanti Bibah telepon lagi. Bibah mau bawa makanan ke masjid dulu, okey!” ucapku kepada Abah.
“Jangan lupa kebab buat Abah dipisahin ya, awas kalau abis ... Abah ngambek!”
“Iya. Udah dipisahin sama Umah kok. Udah ya, assalamualaikum, Abah.”
“Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh, cantik.”
Tidak mengulur waktu, aku segera terbang menuju dapur. Di sana Umah sudah menyiapkan rantang yang mesti kubawa ke masjid sebelum iftar tiba mengumandangkan adzannya.
“Kamu yakin nggak mau manggil temen bantuin bawa ini semua, Nak? Berat loh,” kata Umah.
“Nggak apa-apa, Bibah udah biasa kok. Biasanya di kampus Bibah sering bantuin Pak Bahar angkat modul banyak banget, Bibah kuat!”
“Masya Allah ... anak siapa sih ini, sholihah banget! Anak Umah ya?” cicit Umah menyapu gemas kedua pipiku. Bagaimana aku tidak baper jadi anak Umah coba, seusia ini saja aku masih dimanja bak balita kecilnya, hihi.
“Yaudah, Bibah berangkat sekarang. Umah ada yang mau dititip gitu sebelum Bibah pergi?”
“Hm, apa ya? Salad buah enak kali ya?”
“Setujuuu. Yang depan komplek. Bibah suka banget kolaknya. Bibah beli buat buka puasa juga boleh ya, Umah?”
“Go ahead!” balas Umah tersenyum koperatif.
“Yey. Makasih Umah. Bibah berangkat sekarang.”
“Hati-hati, Sayang. Jangan lari!!!” pekik Umah, namun aku sedang semangat-semangatnya terpikir kolak dan salad buah yang kucicip kemarin. Aku dan Umah bahkan rela menyelipkan menu Indonesian itu masuk dalam menu hari ini.
Setelah menitip rantang berisi makanan kepada Ratu, si anak remaja masjid, aku langsung bergegas menuju rute luar komplek. Entah karena mood-ku sedang sangat baik hampir mendekati sempurna ataukah kolak buatan kedai Mang Yusuf memang the best.
Sampai di hadapan kedai kecil berisi jejeran kolak pisang, salad buah, dan sup buah di atas meja, lelaki kepala empat yang tidak lain Mang Yusuf bersama putri cantiknya langsung menyambutku. Nama anaknya Kak Yuni, kebetulan kemarin kita sudah sempat mengobrol ketika aku membeli dagangannya pertama kali.
“Mang, salad buahnya dua, kolaknya satu ... buat Bu Alna ya, hihi,” pesanku.
“Oke deh, tiga ya!” Langsung Mang Yusuf menyiapkan khusus untuk Umah.
“Assalamualaikum, Habibah,” sahut tiba-tiba suara seseorang berdiri di sampingku juga.
Kulihat dia adalah Kak Fathar dengan setelannya habis berjalan santai di luar komplek. Kaos putih yang dikenakan dipadu celana selutut dan sepatu kets bak menyulap dia menjadi anak muda 20 tahunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H