SEMENJAK hari menyeramkan itu, aku jadi selalu takut bertemu Kak Fathar dan keluarganya. Bahkan memenuhi panggilan Salma di luar sana pun aku takut, lebih baik aku berdekam seharian di kamar ketimbang harus menemuinya di luar.
Aku bahkan rela ke masjid mengantar Umah demi memastikan dia tidak duduk di saf belakang tempat anak-anak remaja masjid, aku tidak ingin Umah bertemu Salma. Tidak pula ke mana-mana sendirian, aku selalu minta Umah atau Abah menemaniku jika harus keluar rumah.
Dan pagi ini, Abah mengajakku ikut kerja bakti menyambut datangnya momentum sepuluh hari terakhir Ramadhan yang tersisa dua hari lagi, bodohnya karena aku terlalu antusias sampai lupa seluruh warga pasti ikut kerja baktinya. Umah tidak bisa berpartisipasi karena harus ke kantor juga, jadi aku mengekor ke Abah terus takut Kak Fathar atau Salma datang menemuiku.
Aku turut membantu Babah merapikan rumput lapangan yang rencana akan diusulkan sebagai tempat sholat idul fitri bersama bapak-bapak yang lain, membersihkan sepanjang jalan utama dari gerbang terdepan sampai ke belakang. Sekitaran masjid dibersihkan oleh remaja masjid, aku justru tidak di sana membersihkan tempat bersuci, WC, pekarangan, sampai bagian terdalam masjid yang terbilang cukup mudah dikerjakan oleh perempuan sepertiku.
Satu yang kusayangkan, bahwa aku harus kembali bertemu dengan Kak Fathar lengkap dengan Abinya di lokasi yang sama. Meski tak saling bicara, aku tetap tidak enak membayangkan kejadian terakhir kami bertemu. Apa dia sudah gila melirikku sebagai calon pendampingnya ya?!
Tidakkah dia berpikir tentang kesetaraan? Atau paling tidak dia semestinya memperhitungkan ingin hati orang tuanya, kenapa jadi ke aku?!
Membuatku takut bertemu dia dan keluarganya saja! Jelasnya, aku ingin dia membenciku dan melupakan niatnya padaku. Titik.
“Bibah ambilin tempat sampah, Nak!” perintah Abi sembari kepayahan menggendong rumput hasil menyabitnya.
Aku mengangguk koperatif berbalik mencari tempat sampah, namun naasnya langkahku kembali dipatahkan menghadap segera pada Abah ketakutan. Tempat sampahnya tiba-tiba dipegang oleh Kak Fathar di sana. Kedua tanganku spontan mengacak-acak pelukan rumput Abah hingga tak bersisa setangkai pun.
“Astagfirullah, Bibaaahhh!!!” Abah ternganga menatapku aneh.
“Hehe, Bibah aja yang beresin, Bah. Abah yang ambil tempat sampahnya. Okey! Deket kok itu tempat sampahnya!” senyumku menyengir kaku.
“Yaudah, cepet dibersihin. Abah ambilin tempat sampah dulu,” putus Abah dan aku menyutujuinya cepat.
Tepat di pukul sebelas, kami akhirnya dipersilakan mengakhiri pekerjaan super melelahkan ini menuju ke rumah masing-masing. Sepanjang jalanan komplek kini bersih tak menyisakan satu sampah pun, ada hanya asap dempul bertebaran dari area pembakaran. Lapangan milik pemuda komplek juga sudah bersih, rumputnya rata sama pendeknya. Aku dan Abah lalu berjalan pulang dengan pikiranku yang kurasa sedikit kalut bertemu lagi dengan Kak Fathar, Kak Fathar memang tidak memedulikanku, tapi aku sudah terlanjur tahu perasaannya.
Hash!!!
Kenapa harus kubiarkan dia sampai punya perasaan seperti itu sih?
“Hei, sholihahnya Babah kenapa sih? Dari tadi ngelamun mulu?” sahut Abah di sampingku.
“Ha? Enggak. Bibah itu ... apa ... lagi mikir Ramadhan nggak kerasa, tiba-tiba udah kerja bakti aja,” jawabku gelagapan, mencari alasan tercepat.
“Ya kan namanya juga waktu, Bibah. Sengaja pak RT himbau kerja baktinya sekarang, supaya kalau udah deket hari raya kita nggak keteteran bantu di rumah dan bersihin komplek. Semuanya harus dipersiapkan jauh-jauh hari biar nggak nyesel. Tahun kemarin kan gitu, pada nyesel nggak manfaatin kesempatan yang ada, nggak bisa ngeliat peluang kapan waktu terbaik untuk bersihin komplek,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H