Day 12

3.1K 374 7
                                    

NGAMBEK lagi, ngambek lagi ...

Entah karena apa sahabatku, Salma, kembali dingin setiap bertemu denganku. Pagi tadi sebelum ke kampus aku sempat bertemu dengan dia sedang menjemur handuk di balkonnya, dan tiba-tiba dia membuang mukanya dengan sengaja lalu masuk tidak ingin menengokku lagi.

Aku yang seringkali disangkanya tidak peka, mendadak merasa demikian tiba-tiba. Apakah aku sekaku itu, sampai perasaan Salma pun tak pernah bisa kubaca?!

Sepertinya aku tidak habis berbuat kesalahan apa pun kepada Salma. Tidak ada alasan yang mengharuskan dia menghindariku begitu.

Atau ...

Atau Salma mungkin sedang punya kesibukan yang tidak boleh diganggu ya? Menghafal Al-Qur'an untuk persiapan kuliah di Madinah misal. Itulah kenapa dia menghindariku agar aku tidak keseringan memanggilnya ke mana-mana dan bisa fokus belajar. Iya. Mungkin memang seperti itu. Aku yakin.

Baiklah, aku tidak akan memanggilnya dulu. Ini untuk kebaikannya.

Di rumah sendiri, aku tengah sibuk mengurus laporanku yang hendak kucetak namun printer-ku agak bermasalah dengan tintanya. Ingin mengganti tinta tapi uangnya sudah tidak cukup. Terpaksa aku akan mencetaknya di luar saja.

Kali ini aku perginya jadi sendiri. Biasanya jika harus berkeliling komplek, aku jalannya akan memanggil Salma. Namun dia sedang tidak bisa diganggu. Tidak jauh dari masjid komplek memang berdiri usaha percetakan yang biasa kita sebut dengan Toko Mading, selain menjual peralatan sekolah, di sana juga bisa fotokopi dan print tugas. Tapi entah sedang ada urusan apa, jam sesore ini toko belum terbuka juga.

Aku jadi mematung kehabisan akal di atas jok sepedaku. Bagaimana ini? Tugasnya memang masih dua hari lagi dikumpulkan, tapi aku bukan yang tipe mahasiswa dadakan. Justru malah aku yang suka mempersiapkan segala hal di jauh-jauh hari dalam setiap kelompokku. Tidak tenang saja jika tugasnya belum selesai.

“Habibah!!!” pekik suara dari kejauhan.

Kutengok sekitaran masjid, sumber di mana suara itu berasal. Tepat di seberang Toko Mading. Kulihat ada Pak Fathar di sana.

Sepeda tungganganku jadi kugowes kembali masuk ke pelataran masjid, takutnya Pak Fathar sedang butuh bantuan atau apa pun sampai harus memanggilku.

Assalamualaikum. Ada yang bisa saya bantu, Pak???” ujarku setibanya di depan dia.

Astagfirullah!”

Pak Fathar berdesis menggelengkan lehernya menyorotku tidak habis pikir. Kenapa? Apa ada yang salah???

“Kok Astagfirullah, Pak?” tanyaku.

“Coba kamu lihat kubah di atas sana!” perintahnya, dan segera kuikuti menengok ke arah kubah bundar yang berdiri kokoh di atas bangunan masjid.

Tidak ada masalah kulihat.

“Kenapa kubahnya, Pak?” tanyaku.

“Kelihatan kaya atap gedung kampus tidak???” tanyanya balik. Aku kembali menengok pada Kak Fathar lalu menggeleng antuasias. Aku sangat yakin dan hafal bagaimana bentuk atap setiap gedung fakultas di kampusku. Tidak satu pun yang menyerupai kubah masjid komplek kita.

“Nggak, Pak,” jawabku mantap.

“Terus kenapa kamu masih manggil saya Bapak???” balasnya mengintimidasi.

Aku yang sebelumnya sudah diperingatkan untuk tidak memanggilnya setua itu ... jadi kikuk, kesulitan bernapas.

“Maaf, Pa—maaf! Maksud saya, maaf Kak. Saya kebiasaan. Habisnya bapak kan dosen di kampus saya juga sekarang,”

Ramadhan Tale (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang