Day 26

3.4K 402 16
                                    

BIBAAAAH!!! Bibah siap-siap, Sayang!!!”

Umah memekik dari tangga terbang menghampiriku di ruang tengah. Aku kaget datang-datang Umah merogoh tubuhku bak sedang diilhami sesuatu yang sukses meledakkan petasan spesial di hati Umah.

“Umah kenapa?” tanyaku berusaha menahannya sebentar.

“Bibah denger baik-baik, Sayang. Fathar ... sama keluarganya ... mau ke sini ... habis Dhuhur. Mereka mau lamar Bibah beneran, Sayang! Ya Allaaaahhh ... akhirnya!!!” Umah memekik bahagia setelah mengeja satu-satu informasi yang disampaikannya barusan.

Aku? Jangan tanyakan lagi.

Hanya kedua mataku kompak berkedip beberapa kali tak menyangka, sedang yang lainnya kaku. Apa-apaan dia datang secepat ini?

Aku kan mengatakan nanti kalau kakinya sudah sembuh! Kenapa jadi hari ini? Bahkan aku mengatakannya belum sampai 1 X 24 jam.

Bagaimana aku tidak shock?!

“Ih, kenapa masih bengong sih! Ayo ganti baju sekarang, pake bedak, pake liptin dikit, okey Sayang?” todong Umah bertalu-talu di telingaku. Badanku didorong menuju kamarku segera.

Di hadapan cerminku masih berusaha kukembalikan kesadaranku yang entah melayang ke mana. Aku memang menginginkan dia datang secepatnya, namun tidak secepat ini juga!

Eh, tapi kan ini hanya lamaran ya? Belum menikah juga. Tidak apa-apa kalau hanya datang mengutarakan niat kan?

Toh, kemarin aku hanya bilang pintuku terbuka untuk dia datang. Bukan mengatakan aku sudah pasti menerima lamarannya jika datang. Jadi ya jika dia memang serius, aku bisa mempertanyakan banyak hal yang perlu kudengarkan jawaban dari bibirnya.

Baiklah. Setelah dress hitamku kembali menjadi pilihan dengan atasan kali ini dipadukan dengan pasmhina berwarna yang sama, aku kemudian turun. Maaf ya, di acara begini pun yang digunakan harus dres hitam, aku punyanya kebanyakan warna itu saja pasalnya. Lebih elegan saja, hihi. Menurutku tapi ya, tidak tahu orang lain.

Umah dan Abah ternyata sudah di depan pintu sana ketika aku tiba di ruang tamu, mereka menyambut tamunya yang super mendebarkan jantungku seketika.

Wah! Mereka sudah datang.

“Ayo masuk, masuk, Um ... aduh nggak sabar banget ini,”

“Fathar biar sini Abah bantuin. Abinya masih parkirin mobil tuh,”

Beberapa saat kemudian, mereka benar-benar datang berbondong-bondong memborongiku. Salma melambaikan tangan semangat melihatku di sini, Umi dan Umah tersenyum bahagia, dan ... Kak Fathar yang berjalan susah payah dengan tongkatnya dibantu Abahku tak lepas kusaksikan datang menghampiriku di sini.

Aku akan benar-benar dilamar kali ini.

Masya Allah, ih! Cantik banget ini, kakaknya siapa sih???” Salma bergumam merogohku di kursi, segala hal dilakukan dari menatapku dengan gemas, memuji, memeluk, semuanya!

Begitu Abi Barak datang, saat itu juga suasana ruangan mulai memasuki suasana yang berubah drastis. Abi Barak bahkan meninggalkan i’tikafnya sejak tiga hari yang lalu hingga hari ini yang intinya adalah untuk mengurus keperluan Kak Fathar.

“Mungkin sudah bisa dimulai ya, Umi,” Abi Barak mengode sang istri, “Jadi, sebelumnya terima kasih sudah disambut baik, Masya Allah. Habibah juga masya Allah, cantik sekali hari ini. Abi kayanya feeling jantungnya Fathar udah ketar-ketir nih ngeliat Habibah berseri-seri gini,”

Seisi ruangan jadi tertawa menyimak Abi Barak merayuku begitu. Belum lagi aku tersenyum simpul menyamarkan ledakan kuat mengobok-obok isi dalam perutku.

Ramadhan Tale (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang