PUNYA Umah yang perfeksionis dan peduli merupakan sebuah privilage terbaik yang aku miliki di dunia ini.
Meski hari-hari biasanya kesibukan Umah banyak di kantor, namun di akhir pekan Umah pasti selalu mengajakku menyetok bahan dapur pekanan bersama. Bahkan sebelum persediaan habis, Umah sudah menghitung baik-baik cadangannya. Katanya supaya tidak heboh lagi jika sewaktu-waktu malah kehabisan.
Sudah hampir satu jam kita berkeliling di sepanjang rak minimarket komplek, Umah masih sibuk mengingat-ingat apalagi yang perlu dibeli.
Gema album Maher Zain sedari tadi menemani kita di sini menandakan tema Ramadhan amat kental terasa dengan lagu-lagu religi berbahasa Inggris tersebut dibawakan.
“Bibah butuh semangka nggak, Nak?” tanya Umah memastikan. Aku menggeleng cepat. Bukan karena tidak suka, tapi karena aku tahu kita pulangnya berjalan kaki saja, aku tidak yakin akan kuat menggendong semangka ke rumah ... dalam keadaan berpuasa.
“Jeruk aja kayanya deh, Umah. Lebih seger,” alibiku.
Namun begitu, Umah tetap percaya dan mengganti pilihan semangka tadi menjadi jeruk mandarin.
“Udah semua kayanya. Ya udah, Bibah ke kasir duluan gih, Umah nanti nyusul ... Abah tadi pesen sirup buat di pondok, Umah hampir lupa kan!”
“Yaudah, Bibah tunggu di kasir,” ucapku mengalah. Aku dan Umah berpisah.
Tiba di rumah, seluruh belanjaan segera ditata rapi di dalam lemari dapur Umah. Selain karena orangnya super rapi, sengaja Umah yang kubiarkan menata belanjaan sebab Umah yang lebih sering berada di dapur.
Aku sendiri sudah bergegas menyiapkan bahan makanan yang hendak dihidangkan sebagai menu berbuka, sebelum Umah menyusulku juga dengan bawaan daging ayam dari kulkas. Rencananya kali ini kita akan berbuka puasa dengan dimsum ayam dan Wonton sup. Umahku memang tipe yang seperti itu, segala sesuatu senangnya yang tertata dan bertema. Kali ini temanya adalah Chinese food.
Sembari bekerjasama, di dapur inilah kita juga banyak mengobrolkan banyak hal; tentang kuliahku; pekerjaan Umah di kantor; bahkan undangan reuni yang mulai santer dibicarakan grup kelas masing-masing.
Memang tidak heran jika grup kelas yang dulunya senyap tiba-tiba ramai di bulan Ramadhan. Kukira itu merupakan salah satu berkah dari bulan suci ini, mendekatkan yang jarang berkomunikasi lagi.
“Kalau Umah mah, nggak seneng yang plan banyak, ujung-ujungnya nanti nggak jadi. Maunya tuh yang sat-set-sat-set, gitu. Kan enak nggak wacana mulu,” curhat Umah sembari mulai mengukus dimsumnya.
“Bibah belum ada yang ngajakin sih selain temen kuliah. Itupun juga ngajaknya beres kuliah, Bibah kan nggak bisa kalau nggak izin Umah dulu sebelumnya,” curhatku juga.
“Ya asal Bibah kabarin Umah aja, Nak. Kan ada handphone sekarang, nggak perlu pulang lagi kan minta izinnya,”
“Iya tapi kan Bibah nggak tahu kalau ternyata pas izin Umah baik-baik aja di rumah apa enggak. Kaya sekarang nih, Abah ke pondok ... kalau Bibah nggak tahu Umah sendirian terus main diizinin aja, kan jadi kasian Umah. Berbukanya jadi sendiri!”
“Iya deh, iya. Yang nggak mau ninggalin Umahnya sendiri. Sini cium dulu pipinya, abis itu langsung mandi, okey. Nanti anak Umi Hilda udah dateng manggil loh, Bibahnya masih bau bawang. Go!”
Umah kalau sudah berniat mengusirku dari dapurnya selalu saja pakai alasan mandi. Jadi tidak heran wangiku tidak akan lepas dari bau sabun.
Huft!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H