SETELAH jantungku rasanya telah meledak ulah dari membaca pesan terakhir dari Salma di jam sedini tadi, di waktu paginya aku kembali dikirimkan pesan tak berdosa dari Salma dengan mengatakan ...
Hehe, maap Kak, aku becanda yang tadi malam. Kak Fathar nggak kenapa-kenapa kok. Hari ini udah boleh pulang malah. Panik nggak? Panik nggak???
Pertanyaanku, mengapa tega sekali dia mempermainkan perasaan orang lain? Aku sampai tidak tidur hingga subuh memikirkan Kak Fathar yang kritis. Mukenaku harus kuganti karena sudah banjir antara air mata, hidung berair, dan keringat. Seumur hidupku baru kali itu aku pernah berkeringat di jam dua pagi! Hanya karena menangis!
Dan meski tak ada lagi yang patut kutangisi, entah kenapa air mataku masih berselancar jatuh membasahi bantalku. Mood-ku benar-benar hancur mengkhawatirkan banyak hal. Untuk tergerak keluar kamar pun kuurungkan, tidak mungkin aku memunculkan diri di depan Umah dalam keadaan seperti kepiting rebus begini.
Aku tidak sepantasnya mengkhawatirkan orang tak berkepentingan dalam hidupku. Entah mengapa aku punya rasa peduli ini?
Iya, bila hanya sebagai tetangga, mungkin saja aku bisa menerima.
Permasalahannya adalah, perlakuanku mengkhawatirkan dia lebih dari kepedulian tetanggaku yang tertimpa musibah.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin tidak bisa memisahkan rasa dan kepedulian. Keduanya bak telah bercampur!
“Bibah masih di dalem, Sayang? Ada Salma nih yang nyariin.”
Umah menggumam sembari mengetuk-ngetuk di pintu kamarku, namun aku tak kunjung bisa mengusaikan derai air mata ini.
“Umah suruh masuk ya,” kata Umah kembali di balik pintu.
Tidak berselang lama suara Umah kemudian berganti suara orang lain, dia membisingkan namaku berkali-kali namun aku kian sedih saja mendengar suaranya.
“Kak? Kak Ayo dong bukain!”
“Kaaak ... bukain. Salma dobrak nih pintu kalau nggak mau dibuka!”
“UMAAAHHH, SALMA IZIN DOBRAK PINTUNYA YA??? KALAU RUSAK MINTA KAK FATHAR AJA YANG BENERIN, BIAR NGGAK TIDUR SEKALIAN ORANG DI DALEM INI. KAAAAAKKKK, BUKAAA!!!”
“Mau ngapain sih, Sal?” Aku menyahut melas akhirnya, daripada pintuku yang dirusak.
“Kak Bibah suaranya kenapa? Kak Bibah lagi nangis??? Haaa ... ayo dong bukain! Kak Fathar nggak kenapa-kenapa kok, nggak perlu nangis, Kak!”
“Sal, maaf ya. Kamu mending pulang aja, aku lagi nggak mood ngobrol,”
Tidak begitu lama, suara di luar pintu sana tiba-tiba hening. Salma sepertinya pulang meski tidak enak hatiku mendadak muncul setelah mengusirnya tidak sopan begitu.
“Kak!” panggil seseorang.
Cepat aku menengok ke arah jendela kaca di balkon. Salma yang kupikir pulang, tiba-tiba berdiri di sana membawa serta guci Umah yang dioleh-olehkan Abah ketika umrah dulu.
“Buka jendelanya, atau Salma yang buka sendiri!” pekiknya di luar sana siap mengayun guci yang dipegangnya. Mataku yang sembab beberapa saat lalu, kini terbuka lebar berlari menyusul secepatnya jendelaku. Bukan tentang jendelanya, jendela bisa diganti. Tapi guci Umah ...
“Kamu ngapain sih?”
“Buka!!! Atau Salma pecahin nih jendela!”
“Ja-jangan,”
Aku tak punya pilihan lain selain menarik segera kunci jendelaku hingga berdecit terbuka. Anak itu menitip guci Umah lalu membobol jendelaku masuk ke kamar. Mona sampai menyimaknya masuk seperti maling.
“Alhamdulillah,” ucapnya setelah mendarat selamat.
“Hiii ... udah Kak Fatharnya ditolak mentah-mentah, giliran Kak Fatharnya sakit malah nangis berat. Jenguk kek! Jangan malah nyiksa diri gitu!” komentarnya begitu melihatku memprihatinkan begini.
“Siapa yang nangisin Kak Fathar coba. Aku nangis makanan Mona udah mau habis tahu! Kasian ... besok udah nggak makaaan,” tangisku kembali pecah tiba-tiba di pipi, banjir. Sampai Salma terundang untuk ikut membantuku menyeka air mata.
“Ugh! Cup cup cup, Mona nggak kenapa-kenapa kok, Kak, insya Allah. Berdoa aja semoga yang terbaik selalu menyertai Mona ya. Udah nggak usah nangis-nangis lagi, cantiknya hilang loh nanti,”
Aku mengangguk setuju. Semoga saja begitu. Semoga Mona selalu diberkahi segala hal yang terbaik dalam hidupnya.
Entah.
Entah Mona siapa yang kini kumaksud.
***
Setelah seharian penuh Salma ikut berdekam di dalam kamarku, anak itu akhirnya jadi merasa bosan sendiri. Sedari tadi dia hanya bolak-balik Mona, kursi putarku, Mona lagi, dan sekarang berakhir di kursi lagi.
“Kak?”
“Hm?” Aku membalas lemas dalam kunkungan selimutku. Suhu tubuhku mungkin hampir menyamai orang demam.
“Yakin nggak mau jengukin Kak Fathar?” tanyanya.
“Buat?”
“Dijengukin lah, Kak. Namanya orang sakit. Kalau orang nikah, namanya kondangan!”
“Hhmmm ...” Aku melenguh lemah menarik selimutku naik hingga ke leher.
“Ini aku nggak maksud jodoh-jodohin lagi ya, aku ngerti Kak Bibah nggak bisa terima Kak Fathar. Tapi seenggaknya jangan menghindar Kak, keluarga kita pernah deket loh ... dan semoga tetap deket. Salma nggak mau cuman gara-gara perasaan Kak Fathar, keluarga kita jadi keruh gini hubungannya. Kak Bibah canggung ketemu Kak Fathar lah, sampai aku ikut dihindarin juga. Sedih tahu!” ujarnya.
Meski agak aneh, tapi aku bersyukur kali ini Salma benar-benar tampil dengan gaya bahasa yang dewasanya. Dia tidak lagi memikirkan ego sendiri, namun mulai berpikir jauh di sekitar. Antar hubungan keluarga yang belakangan kubuatkan benteng untuk tidak saling berinteraksi banyak.
“Nanti aku usahain,”
“Bener?” pekiknya antusias.
“Tapi nggak janji,”
“Aaahhh ... Kak Bibah mah!!!” rengek anak itu sudah terbang saja naik ke kasurku. Dia tidak berhenti mengganggu dengan pelukan memaksanya itu.
“Ayolah. Kasih kepastian kek. Nggak ada salahnya kita jengukin sesama muslim kita loh. Apalagi muslimnya spesial. Siapa tahu bisa lebih cepet sembuh?”
“Kalau gitu beneran nggak ada. Males jenguk kalau kamunya ngaur mulu,”
“Ah, jangan! Jangan! Iya aku nggak godain lagi, hehe. Jengukin Kak Fathar ya! Sebelum dia sembuh pokoknya! Setelah sembuh juga boleh, asal siap bahasnya bukan soal kesehatan lagi, tapi hubungan, bwahahahaks,”
“Salma!”
“Iya, iya ampun, hehe. Kakaknya siapa sih ini, gemes banget!” racaunya memperhatikanku dengan gemas, pelukannya melingkar di perutku namun tak kuindahkan.
Aku memang sepertinya perlu menjenguk Kak Fathar, bukan sebagai siapa-siapanya, hanya sebatas tetangganya.
Iya.
***
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H