TIDAK terasa Ramadhan tersisa satu pekan lagi, rasanya baru kemarin aku hampir pingsan di dalam taksi online sakin lemasnya, pekan depan sudah lebaran saja.
Dan untuk mengisi kegiatanku hari ini, Umah memintaku menukar uang lima ribuan ke bank untuk nanti dibagi-bagikan kepada anak-anak di hari raya, aku juga sudah ke toko serba-serbi membeli hiasan untuk mendekor rumah dalam rangka menyambut hari raya yang sebentar lagi tiba.
Senang sih, namun jujur saja ada sedih yang diam-diam menyusup dalam hati, bahwa hari kemenangan semakin dekat sama halnya dengan sebentar lagi kita akan ditinggalkan Ramadhan kembali. Bahkan boleh jadi juga kita mungkin akan ditinggalkan Ramadhan selamanya sebab kita yang lebih dulu dipanggil Tuhan dan tak berkesempatan menemui Ramadhan kembali.
Bisa jadi.
Jadi, aku amat bermohon kepada siapa pun itu, maafkan aku jika sesuatu pernah kulakukan yang sekiranya menyakitkan untuk diingat. Atas kekhilafan yang pernah kulakukan. Semoga di tahun depan kita masih diperkenankan bertemu Ramadhan, bersua, menikmatinya dalam keadaan hati yang lebih baik dari hari ini.
Ramadhan tahun ini ada banyak kekecewaan yang kutampung untuk diriku sendiri, aku berharap akan sembuh di Ramadhan selanjutnya. Aku bermohon akan itu.
Pulang ke rumah, aku kemudian disambut dengan pemandangan agak kacau. Pagar rumah yang selalu tertutup tiba-tiba terbuka lebar, pintu rumah juga. Dan, ruang tamu ... segelas air berceceran di lantainya. Aku segera memanggil Umah takut terjadi apa-apa padanya selama aku pergi, namun hingga aku berteriak bahkan menyusul ke lantai atas kamarnya aku tetap tidak menemukan keberadaan Umah.
“Ya Allah, Umah ... semoga nggak terjadi apa-apa sama Umah,” bisikku melacak dengan panik kontak Umah untuk kuhubungi.
Beruntung seseorang di balik sana mengangkatnya.
“Assalamualaikum. Umah?” ucapku terburu-buru menunggu suara yang menjawab.
“Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh, Sayang,”
Alhamdulillah, masih Umahku yang mengangkat! Meski Umah kedengarannya habis menangis di sana.
“Umah ke mana? Kok rumahnya ditinggal. Pintunya pada kebuka lagi,”
“Aduh Umah panik banget kayanya tadi, jadi lupa kunci pintu. Fathar kecelakaan, Sayang. Ketabrak mobil,”
“Hah? Ya Allah. Innalilahi wainnailaihi rojiun. Terus gimana?”
“Ini masih dalam penanganan dokter. Bibah mau jaga rumah apa mau nyusul ke sini juga, Nak?” tanya Umah di seberang sana. Sontak kesadaranku kembali tersentil, bahwa aku bukanlah siapa-siapa yang pantas mengkhawatirkannya.
“Bibah ... jaga rumah aja, Umah,” jawabku.
“Yaudah, Bibah nggak usah keluar-keluar lagi ya, Sayang. Di rumah aja. Umah nggak mau Bibah kenapa-kenapa,”
“Iya, Umah.”
“Umah temenin Umi Hilda dulu ya, Nak, assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Setelah panggilan Umahku terputus, rasa sakit mengacaukan seisi dadaku tiba-tiba dengan begitu sajanya menyerang. Air mataku berjatuhan tak tahu sedang menangiskan apa? Mengapa ... sakit sekali.
Lututku ikut lemas terduduk tak kuasa, aku menjadi takut akan sesuatu. Kupukul dadaku yang sesak hendak menetralkan napasku, namun tak berhasil. Sebab yang bermasalah bukan pada paru-paruku, melainkan pada organ yang lain.
“Aku mohon, jangan kenapa-kenapa! Kamu nggak boleh kenapa-kenapa. Kamu harus lanjutin hidup kamu dengan bahagia. Kamu jangan kaya gini!” desisku di antara tangisku yang pecah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Teen FictionMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H