"ASSALAMUALAIKUM, Kak Bibaaaah ..."
Jam berapa sekarang, kenapa anak itu sudah datang memanggil saja.
"Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh, Sal. Masuk dulu yuk," ajakku, mengingat hari masih sangat cerah untuk berangkat ke masjid.
"Aduh, Kak, udah nggak sempet. Ayo cepetan kita ke masjid,"
"Ngapain, Sal?"
"Kok ngapain sih, kita mau ketem—ketemu anak remaja masjid, Kak," ucapnya gagu mencurigakan.
Rencana aneh apalagi yang dia bangun rapat-rapat di belakangku??! Terakhir kali, dia bahkan mengucilkan aku dengan kawanannya itu entah apa yang dibicarakan. Lalu hari ini dia mengajakku lagi bergabung dengan mereka.
"Aduh Kak, ke masjid mah nggak perlu mikir. Ayooo..." desaknya.
Kuhela napas panjangku, apakah barusan aku sedang bersuudzon ria tanpa kusadari ya? Mungkin saja remaja masjid memang butuh bala bantuan tambahan. Baik kuangguki untuk bergegas lebih awal ke masjid bersama.
Sayangnya, sampai di sana pemandangan kontras kusaksikan, masjid sepi tak kutemukan satu anak remaja masjid pun. Hanya ada kita, Abi Barak yang sibuk membenarkan mikrofon, dan Kak Fathar mematung dengan pose memegang tiga buah gagang sapu dan pel.
"Loh, kok cuman kalian berdua sih? Yang lain ke mana, Sal?" sambut Kak Fathar menyusul kami pada akhirnya.
"Aku udah pada panggil, Kak, tapi kata mereka mending mereka bantuin Umi buat menu berbuka jamaah di rumah aja. Ya udah aku panggil Kak Bibah deh buat temenin aku,"
"Ya kalau berdua mana bisa selesai cepet, Sal?"
"Kan ada Kak Fathar,"
"Kakak?" Kak Fathar menunjuk dirinya tidak percaya.
"Nggak usah banyak protes. Kak Bibah juga bisa kan bantuin bersihin masjid?" tengok Salma balik menerorku. Tatapan yang mengisyaratkan perintah di luar deal-dealan di awal.
Tapi, ya sudahlah!
Toh, membersihkan masjid saja, kan? Tidak masalah, aku percaya akan menuai pahala dari orang-orang yang beribadah di atas lantai yang bersih ini.
Baiklah.
***
Selang lima menit menyapu sudut-sudut masjid, Salma tiba-tiba meminta izin menuju ke rumah memanggil pasukan lebih banyak. Tentu aku menyetujuinya, sebelum dia akhirnya kembali mengkhianatiku.
Air mataku berkaca-kaca hebat, entah harus seberapa lama lagi aku mengharap anak itu datang. Bukan apa-apa, aku bukan tidak mampu membersihkan masjid seluas ini ... hanya saja dia meninggalkan aku dan Kak Fathar berdua. Abi Barak memang ada, tapi dia di bagian gudang masjid. Tersisa aku dan Kak Fathar seorang di dalam sini membagi tugas.
"Salma ke mana sih? Manggil temen-temennya kok lama banget," keluhku.
Sudah puluhan kali leherku berbalik menengok ke pintu, langkahku sesekali berhenti-lanjut-berhenti-lanjut lagi namun sosok yang kutemui masih orang yang sama, Kak Fathar. Siapa yang tidak canggung jika harus terjebak dengan dosen sendiri membersihkan masjid, berdua saja lagi?!
"Kamu kenapa? Capek ya?" sahutnya tiba-tiba, mungkin karena keluhanku sedari tadi mencari Salma dan pasukan yang dijanjikannya itu.
"Enggak kok, Pak. Saya cuman ... nggak enak aja berduaan," jawabku kikuk.
"Oh, tenang aja. Saya nggak akan berani sentuh kamu kok. Selain karena ada suruhan Allah yang mengawasi kita, Abi saya juga bersama kita. Tidak ada dia saja saya berpikir ribuan kali menyentuh perempuan tidak halal untuk saya, apalagi jika Abi saya berada di depan mata saya sendiri,"
"M-maksud saya bukan gitu, Pak. Saya cuman ... nggak enak aja sampai ada yang liat. Nanti disangkanya saya modus lagi deketin anak Abi Barak," jawabku kembali berterus-terang.
"Modusin apa? Justru kamu kan bantuin saya,"
Entahlah, dia sadar atau tidak pamornya sebagai pendatang yang digandrungi anak-anak remaja masjid sini? Sampai ada yang melihat kita hanya berdua begini, kurasa bukan dia yang akan di-cap buruk ... tapi aku. Huhu :'(
"Sudah, dibersihin aja lagi. Nggak usah khawatir, ada Abi kok di dalam. Itu yang deket pilar tolong disapu gih,"
Aku mengangguk paham, setidaknya dia akan membela posisiku yang tidak bermaksud apa pun selain membantunya, sekaligus menunggu Salma datang.
Aku bersumpah demi Pemilik Ramadhan ini, tidak ada sedikit pun niatku untuk memodusi Pak Fathar. Sudah cukup dia menjadi manusia yang paling kucanggungi selama hampir delapan hari di bulan suci ini. Tidak perlu kutambah lagi!
"Oh iya, saya mau minta tolong, saya belum sempat sampaikan ke Abahmu, saya minta maaf karena kemarin saya nggak langsung bawa kamu pulang, kata Abi mereka nyariin kamu sampai kampus kan ya?" Kak Fathar di belakangku berujar lagi—sambil merapikan isi lemari Al-Qur'an juga tentunya.
"Insyaa Allah, nanti saya sampaikan. Udah selesai nih lantainya, Pak. Langsung saya pel aja kali ya,"
"Boleh, sambil tunggu Salma juga,"
"Ya udah, saya duluan kalau gitu." Pamitku.
Aku sudah Lillah jika Salma tidak akan kembali lagi, bersyukur karena dia masih menyisakan Kak Fathar dan Abi Barak menemaniku membersihkan, hal tersebut masih lebih baik sedikit daripada harus meninggalkanku seorang diri.
Belum seberapa jauh lantai yang kubersihkan, tidak sengaja gagang pelku harus menyenggol air yang berada di dalam ember, aku yang melihatnya panik segera membersihkannya sebelum dilihat oleh Abi Barak. Namun qadarullah aku malah terpeleset persis gaya selebrasi pemain bola mencetak gol :'(
Dari arah belakang kudengar Pak Fathar berlari meninggalkan pekerjaannya untuk menolongku.
"Bibaaah,"
Bruuuk ...
Dia malah ikut terpeleset juga dan naasnya lengannya tergores besi pembatas saf sholat.
Aku ikut terkejut dan segera menolongnya. Dia basah sekaligus terluka."Tangan Pak Fathar, ya Allah ... mari Pak saya bantu,"
"Nggak, nggak usah."
"Aduh Pak, bukan saatnya gengsi sekarang. Luka Bapak kalau nggak ditanganin, bisa makin parah,"
Aku menarik ujung bajunya untuk mengikutiku keluar dari dalam masjid. Dia menurut saja dan aku jadi berpikir keras bagaimana cara menolongnya. Lukanya harus segera ditutup agar darahnya berhenti mengalir.
Ah iya, jilbabku.
Segera kubuka peniti jilbabku dan kulihat dia panik menutup mata, aku lupa menjelaskan, tanpa persetujuan darinya untuk membuka jilbab. Padahal di dalam aku masih pakai layer bertudung yang menutup sampai ke dada.
"Udah! Semoga lukanya bisa cepat membaik. Maaf saya tinggal sebentar ya, Pak, sebelum masjid ramai,"
"Tapi jilbab kamu?" katanya masih tak berani melihatku.
"Saya masih pakai layer kok, Pak, makanya harus cepat pulang. Sebelum yang lain dateng,"
"Nggak apa-apa, jilbabnya buat kamu aja—"
"Buat Bapak aja. Jangan dilepas, okey! Saya harus pulang cepet. Assalamualaikum, Pak!!!"
Sembari menunduk aku berlari meninggalkan rumah ibadah ini, meninggalkan Pak Fathar yang terluka, dan semoga tak ada yang sempat melihatku dalam keadaan seperti ini di jam-jam warga komplek memang masih di rumah menyiapkan menu berbukanya masing-masing.
***
To be continuedMaapkan keterlambatan up-nya, huhu :'(
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan Tale (END)
Novela JuvenilMulai Ramadhan ini, aku tidak akan mau menerima kolak pemberian tetangga lagi. Titik!!! -Habibah, 1443 H