Day 5

4.2K 479 5
                                    

BIBAH, Bibaaaah ...” panggil Abah dari bawah sana. Cepat-cepat aku turun memenuhi panggilannya di ruang tamu.

“Kenapa, Bah?”

“Ini, bilangin Umah kalau udah balik kantor, Abi Barak ngundang kita buka puasa bersama magrib nanti. Jadi nggak usah siapin menu berbuka ya,” kata Abah.

Mendadak nama Salma membumi penuh di seisi kepalaku, mungkin ini kesempatanku untuk bertemu dia setelah menghilang sekian lama. Segera kukirimkan pesan ke Umah untuk tidak membeli takjil di perjalanan pulang, sahabat Abah akan mengundang kita buka puasa bersama seperti kebiasaan mereka di ramadhan-ramadhan sebelumnya.

Sembari menunggu Umah pulang, aku kembali naik mengerjakan tugasku di balkon ditemani Mona yang bermain pasir elektriknya.

Huft! Lama-lama jenuh juga menjadi mahasiswa, tugasku semakin ke sini semakin menumpuk banyak. Tanggung jawab menyelesaikannya ternyata tak semudah yang kubayangkan, namun tetap harus kujalani demi Umah dan Abahku.

Aku membuang muka lelah, menepisnya dengan menyorot sekeliling balkon tetangga yang berjejer rapi, hingga tanpa sengaja kulihat seseorang tak asing tiba-tiba melintas dari arah bawah sana lagi dengan pakaian santainya berjalan ke arah minimarket dekat lapangan futsal komplek. Sontak aku berdiri tegap, tidak segan kuteriaki agar dia mau diminta berhenti sebentar.

“Heeeeiii ...” Aku yakin suaraku sudah cukup keras meneriakinya.

“Tunggu di situ sebentar!” Kataku memerintah dia agar tidak bergerak sembari kutepikan segera laptopku untuk menemuinya di sana.

Aku berlari terengah-engah membuka pintu rumah dan pagarku, rasanya napas yang berembus singkat turun dari tangga tadi baru terasa sesaknya setelah sampai di hadapan dia.

“Haduh, bentar, bentar. Aku tarik napas dulu ...” ucapku sesak.

“Iya, santai aja. Tenangin dulu napasnya, saya tungguin,”

Huft! Bismillah ... gini, aku pengen minta maaf sebelumnya sama kamu. Waktu itu aku udah ngatain kamu yang enggak-enggak. Aku nggak bermaksud ngatain kamu kok, aku cuman ... panik karena Mona dibawa orang asing,”

“Aku—”

“Aku beneran minta maaf. Aku harap kamu nggak sampai mikir negatif ke semua penghuni komplek ini. Semua orang di sini baik banget kok, ramah, dan nggak beda-bedain kamu pendatang atau bukan,” Aku sempat menyela kalimatnya.

“Iya, santai aja. Yang terpenting kamu udah nggak anggap saya maling kan?” balasnya seperti nada menyindir. Aku jadi menyengir berat membalas guyonan tidak lucunya.

“Enggak kok,”

“Ya sudah, kalau gitu saya pamit duluan. Takut ibu saya nunggu kelamaan di rumah, mau ke minimarket soalnya, assalamualaikum.”

"Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh,” balasku. Kubiarkan dia berlalu begitu saja dengan selidik manikku mengikuti kepergiannya. Yang kubutuhkan hanyalah maaf dari dia!

Sampai jumpa, aku harap kita tidak akan bertemu lagi meski kamu akan kembali datang ke tempat ini. Hiduplah dengan pikiran-pikiran baikmu dan jangan bertemu manusia seperti aku lagi di awal bertemu.

Assalamualaikum, hei ...”

Aku hampir mengambil jurus jika saja bisikan Umah tidak kukenali berdesir sangat dekat di telingaku. Cepat kucium punggung tangannya sembari salam darinya kujawab lengkap sesuai kaidah menjawab salam.

“Ngapain di pinggir jalan gini?” tanyanya.

“Itu, lagi... lagi ketemu kenalan, Umah,” jawabku jadi terbata-bata. Aku bahkan tak berniat mengenalkan diri dan mengenal orang tadi.

Ramadhan Tale (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang